Untitled design-4

Rain Rosidi: Skena Itu “Sekolah Liar!”

Suguhan air putih, kacang rebus, singkong goreng, dan jagung manis rebus menjadi camilan penonton selama dua sesi pemutaran Rekam Skena. “Yogyakarta Magnetnya Rockabilly”, “Knock Knock Yer Blues!”, “Daya Bara”, dan “Blocked City” diputar hari terakhir dari lima titik pemutaran. Bertempat di Loka Carita Nasraya, lokasi yang disetting menyerupai tempat piknik malam hari menambah ‘khidmat’nya “kuliah umum” oleh Rain Rosidi, kurator seni rupa yang menjadi narasumber diskusi malam itu.

Rain yang juga seorang Dosen FSR ISI Yogyakarta ini mengenalkan istilah skena sebagai “sekolah liar”. Tempat di mana refleksi dari pelajaran yang didapatkan di bangku pendidikan formal direpresentasikan di forum-forum terbuka. Ditambah perkembangan media sosial yang berkontribusi dalam tumbuhnya komunitas, sehingga memunculkan skena-skena yang baru.

Selain itu, skena disebut sebagai “sekolah liar” atau “wilde scholen (wild school)” seperti cap yang menempel pada Taman Siswa yang didirikan Ki Hadjar Dewantara zaman kolonial. Dalam “sekolah” inilah para ahli berkumpul di dalamnya. Ahli musik, ahli menulis, ahli fotografi, tata suara, dan lain-lain.

“Subkultur-subkultur semacam inilah yang bisa membuat alternatif, membangun ekosistem, dengan mempertimbangkan menjaga inklusivitas masing-masing.” kata Artistic Director Biennale Jogja XIII 2015 ini.

Perihal membangun ekosistem, dalam skena dibutuhkan suatu sosok yang berperan sebagai “prosesor”. Selama prosesornya lebih baik, maka seseorang itu berpotensi untuk membangun ekosistem. “Jadi ini bukan perihal siapa yang punya keilmuan di atas rata-rata, melainkan siapa yang ingin menjalankan,” jelas Rain.

Semangat kolektif yang tercermin dari produk film-film Rekam Skena, lanjut Rain, harusnya menjadi model yang bisa direplikasi ke kota-kota lain di seluruh Indonesia. Mengingat tiap daerah memiliki pemahaman subkulturnya sendiri, yang bisa kita lakukan adalah pembedahan prosesnya: apa yang perlu dilakukan, apa saja bahannya, bagaimana cara membuatnya, dan lain-lain. Nantinya, setiap kota bisa mengadaptasinya dengan potensi masing-masing.

Atmosfer yang dibangun malam itu sarat akan nuansa akademis, di mana muncul pertanyaan apakah memungkinkan jika materi subkultur masuk ke kurikulum sekolah atau kuliah? “Jujur kurang mengerti bagaimana caranya, mungkin kalau di lingkungan anak-anak seni ini masih memungkinkan. Mungkin modelnya bisa kajian, tapi yang sebenarnya diperlukan adalah cara mengaplikasikannya. Hal ini sangat bisa untuk dimasukkan (ke kurikulum),” ujar Rain.

Menutup perbincangan, Rain berpesan mengenai generasi emas yang berpotensi lahir dari skena. Menurutnya, hal ini dapat terbentuk dari skena yang bertanggung jawab. “Refleksi-refleksi yang dipelajari di sekolah formal itu diwujudkan di forum-forum informal seperti sekolah liar ini,” katanya. (*)

Penulis: Balma Bahira Adzkia

Fotografer: Duwik Djoyomiarjo

Baca juga:

Artikel Rekomendasi

Website Dalam Tahap Pengembangan

Pengalamanmu menjelajahi website Cherrypop mungkin belum sempurna, karena saat ini lagi proses pengembangan konten.