EELL7267

Momen Seru Dua Hari Merayakan Musik di Tengah Kampung

Pertama kali saya mendengar kabar soal Cherrypop Festival, banyak sekali hal-hal yang membuat penasaran. Pertama dari line-up artisnya; perhatian saya langsung tertuju pada Krowbar dan Agus Magelangan Electonan yang tampil di hari yang sama. Krowbar memang rapper favorit, tapi Mas Agus main electone? Gimana ya. Lalu, tentu saja ada Jenny dan NDX Aka. 

Banyak musisi dari berbagai genre tumpah ruah di Cherrypop Festival, bikin saya bertanya-tanya ini festival musik apa? Karena musisi top dari Kunto Aji hingga band lokal macam The Kick bisa berada dalam satu acara yang sama.

Ditambah lagi, poster Cherrypop tahun ini yang bikin penasaran dengan suasana kampung seperti pohon pisang, sapi kepala TOA, dan mobil pick-up. Kental juga dengan nuansa Orde Baru. Karena logonya yang memakai gambar padi dan kapas serta tema Swasembada Musik.

Nah, beruntung! saya dapat kesempatan untuk hadir di festival ini melalui program Pena Skena. Sebuah program yang memberikan kesempatan pada pesertanya untuk belajar tentang jurnalime musik. 

Menonton Rekam Skena di hari pertama

Datang ke festival ini rasanya penuh perjuangan. Lokasinya, Asram Edupark, jauh dari pusat kota dan berada di tengah perumahan warga. Di sana, literally kita harus mendaki gunung lewati lembah dan menyusuri pepohonan. Baru setelah itu kita bisa melihat pangung-panggung dan tenda-tenda; aih kita sudah ada di festival!

Hajatan akbar ini memiliki tiga panggung, yaitu Cherry Stage, Nanaba Stage, dan Yayapa Stage. Selain pentas musik, banyak juga spot-spot yang bisa jadi tempat aktivitas untuk pengunjung. Seperti tenda jajanan, toko-toko rilisan fisik, merchandise, pameran seni dan live mural, pusat komunitas dan bioskop kecil Rekam Skena, kelas Mojok, dan spot game dari sponsor.

Sebetulnya, musisi yang pengin saya lihat ada di hari kedua semua. Jadi hari pertama Cherrypop Festival saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan jalan-jalan dan melakukan movie marathon karya-karya Rekam Skena. 

Maklum, sejak Cherrypop tahun lalu saya sebetulnya tertarik menonton dokumenter Rekam Skena. Tapi sayangnya waktu itu sedang tidak di Jogja. Jadi ini kesempatan yang tidak boleh disia-siakan. 

Terpesona pada ‘Ruang Kami: Soetedja’

Meski hampir semua filmmaker-nya tidak punya pengalaman membuat film, namun saya bisa menangkap semua ide dan inti cerita mengenai skena dari masing-masing kota. Meskipun ada beberapa judul yang bikin aku perlu waktu untuk paham seperti “DAYABARA” karya Hello Friends dari Purbalingga. 

Film Rekam Skena edisi Banyumasan yang paling saya suka adalah “Ruang Kami: Soetedja” karya kolektif Heartcorner dari Purwokerto. Berbeda dengan film lain yang mencoba membahas skena kotanya masing-masing dari berbagai sudut pandang, film ini lebih fokus pada suatu tempat yang sangat penting bagi skena setempat namun kemudian diruntuhkan. 

Sampai sekarang gedungnya masih berdiri—dibangun lagi tepatnya—namun kegiatannya sudah tidak seramai dulu. Banyak pembatasan yang dibuat pengelola sehingga anak muda merasa kesulitan mengadakan gigs seperti dulu. 

Bagi saya film ini yang paling emosional dengan narasi yang gelap, instalasi manekin berkaus band di tengah pasar, berbagai footage yang sinematik yang merekaman gigs sebelum Gedung Soetedja berubah. Ketika film lain lebih berupa reportase, film ini lebih artistik dan lebih mudah dipahami.

Hidup sehat, bahagia, tidak mati

Rekam Skena kali ini untungnya juga memutarkan film-film edisi Yogyakarta produksi tahun lalu yang tidak sempat aku tonton. Film favoritku adalah “Tuhan, Masukkan Aku ke Dalam Skena” karya 7 Days Off. Film ini membahas tiga kolektif yang paling aktif di Yogyakarta yaitu: Ruang Gulma, Sekutu Imajiner, dan Terror Weekend. 

Hampir semua cerita yang disampaikan oleh narasumber di dokumenter tersebut menarik untuk dinikmati; ada yang lucu, ada yang bahagia, tapi ada yang bikin miris juga. Meski secara eksplisit tidak ada “ajakan” untuk masuk skena, film ini bisa jadi informasi awal untuk orang-orang yang mau lebih aktif “jadi anak skena” dan ingin tahu tentang skena di Yogyakarta.

Selama menonton dokumenter Rekam Skena, saya benar-benar rebahan di atas bean bag. Jadi saat bangun rasanya jadi agak malas dan ngantuk. Tapi akhirnya saya memilih pindah ke panggung utama, Cherry Stage. Pas sekali saat itu Seek Six Sick menutup pentasnya dengan lagu andalan mereka “Sophia Latjuba”. 

Aku memang tidak bisa pulang malam karena jarak Asram Edupark dengan kosku super jauh. Jadi setelah Seek Six Sick selesai tampil, aku meninggalkan lokasi konser. Lucu rasanya selama perjalanan, “hidup sehat, bahagia, tidak mati” terngiang-ngiang di kepalaku. Yuk kita aminkan sama-sama!

Agus Magelangan sang biduan

Hari kedua saya lebih bersemangat dan langsung menuju Nanaba Stage karena Mas Agus membuka pertunjukan. Saya kira Mas Agus yang bakal main electone-nya, ternyata justru dia yang jadi biduannya. Ia bernyanyi ditemani Mas Ega, Ilustrator Mojok, dan diiringi pemain electone dan ketipung. 

Mas Agus memakai seragam motif logo Cherrypop dengan warna biru KORPRI seperti yang ada di konten giveaway tiket Cherrypop. Lalu di lagu terakhir dia memakai onesie sapi. Pentas Mas Agus yang dipersiapkan cuma seminggu itu seru banget. Sukses bikin saya dan para penonton berjoget di tanah berpasir. Dan Alhamdulilah aku dapat lemparan air mineral dingin dari sang biduan hehe.

Puas bergoyang di Nanaba Stage, saya pindah ke tenda Kelas Mojok. Ternyata kebetulan teman-teman kuliah saya banyak di situ. Kinanti Sekar Rahina dari Sanggar Seni Kinanti Sekar (SSKS) memberi materi tentang dasar tarian Yogyakarta klasik. Dan kebetulan kami seangkatan di kampus. 

Mbak Sekar merasa senang ia diajak dan difasilitasi oleh Mojok untuk sedikit berbagi tentang tarian Yogyakarta klasik. Ia juga puas karena ternyata peserta begitu antusias dan mereka bisa mengikuti arahan dengan baik. 

Setelah melihat kelas dan jajan di area F&B, kemudian lanjut menonton Majelis Lidah Berduri di Cherry Stage. Di tengah pentas, tiba-tiba ada seorang temanku yang bertanya kenapa rata-rata anak skena dan pengunjung festival di Jogja rata-rata memakai baju hitam. 

Hmmm ini menggelitikku. Pertanyaan ini muncul karena di hari pertama dia memakai baju kuning, namun sampai di sana kaget ketika rata-rata penonton pakai baju hitam sehingga dia agak canggung. 

Krowbar yang kalem

Selama festival, saya juga bertemu teman-teman lain. Hampir semuanya ingin menonton Efek Rumah Kaca di Cherry Stage, tapi saya memilih belok ke panggung paling kecil, Yayapa Stage, untuk menonton Krowbar. 

Setelah Grrrl Gang selesai tampil, 15 menit kemudian sang Iblis Leksikon muncul di panggung. Berbeda dengan panggung pertamanya di konser Lanjutkan Lagi di Jogja National Museum (JNM) tahun 2020, penonton Krowbar di Cherrypop 2023 ini lebih “kalem”. 

Dulu waktu di JNM, penonton benar-benar menggila: di setiap lagu pasti ada yang crowdsurfing dan aku dengan penonton lain saling seruduk di sepanjang pentas. Tapi di Yayapa Stage ini, kami baru menggila di lagu terakhir andalan Krowbar: “Senjata Pemuas Massal”. 

Memang selama pentas kami ikut nge-rap sama-sama (bahkan penonton sebelah ada yang lebih hafal daripada aku wkwkwk), tapi rasanya kurang sih kalau baru “olahraga” di lagu terakhir. 

Mungkin karena sekarang sudah 5 tahun sejak album debutnya, Swagton Nirojim dan 1 tahun sejak single terbarunya, Senggol Bacok dirilis, penonton sudah agak bosan dan lupa dengan lagu-lagunya Krowbar, jadi suasananya tidak segahar dulu. 

Krowbar juga baru-baru ini dia menulis di Instagram: “tanpa mengurangi rasa hormat kepada mereka yang menggila di mosh pit, 5 taun udah rada kelamaan buat gimmick Swagton, dan saatnya tutup buku dalam rangka buka segel botol yg baru.” 

Krowbar berencana akan merilis album kedua. Kebetulan di backstage ia sedikit membocorkan kalau albumnya akan rilis bulan September 2023. Jadi kita tunggu saja. Hampir lupa, Krowbar secara personal ternyata tutur bicaranya kalem. Pakai kata ganti ‘saya’ dan banyak senyum. Di depan mic dia Iblis Leksikon, di belakang panggung rupanya dia malaikat. 

Festival yang membumi

Kegiatan saya di hari itu berlanjut dengan menyelesaikan game di booth Signature Time (lumayan dapat kaus) lalu menonton NDX Aka di Nanaba Stage hingga pindah ke Cherry Stage untuk lihat Jenny sebentar. Memang tidak sampai selesai karena seperti kemarin, saya tidak bisa pulang terlalu malam. 

Pulang-pulang saya merasa puas selama dua hari ini bisa bersenang-senang dengan menonton konser. Bisa ngobrol bentar dengan artis favorit, ketemu sama kawan-kawan, makan enak, dan pulang bawa sedikit oleh-oleh. 

Cherrypop Festival betul-betul mengusung semangat swasembada musik. Festival ini sukses memfasilitasi bagaimana musik bisa diusahakan secara mandiri. Mulai dari program Rekam Skena, para pelaku usaha yang membuka lapak, seniman yang menggelar pameran, hingga adanya kelas gratis.

Lebih dari itu, di festival ini juga ada warga kampung setempat yang membantu mengatur lalu lintas dan menyediakan ojek. 

Menurutku Cherrypop ini bisa dibilang festival yang paling membumi. Bukan masalah harga tiketnya, tapi lebih karena festival ini dekat dengan kampung (apalagi ada kambingnya), aktivitasnya dekat dengan kehidupan sehari-hari, begitu guyub dan tidak pretensius. 

Penulis: Florentina Krisanti
Editor: Purnawan Setyo Adi

10-11 AGTS 2024

LAPANGAN KENARI, YOGYAKARTA