“Apa yang membuat ribuan orang rela berpanas-panasan, berdandan habis-habisan, lalu berbondong-bondong memadati venue? Bukan hanya musik, atau bisa jadi bukan karena musik.”
Cherrypop tak bisa dicerna hanya sebagai gelaran musik biasa. Ini adalah bukti dari lanskap budaya yang sedang bergeser. Di tengah trend festival musik di Indonesia yang menawarkan line up megah dan gimmick visual, Cherrypop hadir sebagai alternatif sekaligus penanda.
Tidak hanya menjadi tempat menikmati pertunjukan musik, melainkan arena sosial di mana eksistensi, gaya, dan narasi komunitas dikonstruksi secara simultan. Pertama kali aku terlibat langsung ke festival ini tahun 2023 lalu absen di 2024, namun tak ada bedanya, euforianya masih sama, bergema dan menjadi buah bibir dimana-mana, baik itu ruang fisik maupun dunia maya.
Tahun 2024 misalnya, meski secara fisik aku tidak hadir, seluruh linimasa sosial mediaku seperti dibajak oleh atmosfer festival ini. Mulai dari cuplikan video pendek, OOTD yang dipersiapkan khusus untuk hari H, hingga berbagai komentar yang muncul di akun resmi Cherrypop, semuanya bersatu membentuk apa yang bisa disebut sebagai “Theater of Pop Culture”.
Di sinilah istilah “lebaran skena” digaungkan oleh netizen, aku membacanya sambil mengerutkan dahi, DAMN! tanpa koordinasi namun seolah terstruktur, sebuah ritual baru, sebuah perayaan identitas kolektif.
Sebagai seorang music producer sekaligus akademisi yang berkutat dengan dinamika industri musik dan budaya pop, diskursus semacam ini terlalu menggoda untuk tidak dipertikaikan. Karena selain meramu takaran yang pas untuk membuat sebuah musik dapat diterima, membaca trend dan menganalisis pola pasar yang diacak algoritma terpaksa menjadi makanan sehari-hariku.
Bukan sekadar mempertanyakan validitasnya, melainkan menggali lebih dalam apa yang sebenarnya terjadi? Pertanyaannya sederhana, tapi jawabannya tidak. Mengapa hanya Cherrypop yang mendapat gelar tidak resmi sebagai “lebaran skena”? Bukankah festival lain juga menghadirkan musisi keren, penataan panggung estetik, dan basis masa yang loyal? Formula di balik popularitas festival ini terlihat seksi untuk dijelajahi.
Bukan hanya dari sisi permukaan seperti line up atau stage design, tapi dari interaksinya dengan publik, dari bagaimana Cherrypop mengajak kita memahami ulang relasi antara musik, performativitas, dan identitas. untuk membedah mengapa festival ini terasa berbeda, dan apa dampaknya bagi ekosistem kreatif secara luas.


Dengan tidak hadir secara langsung di tahun 2024, aku justru memiliki keuntungan sudut pandang netral yang terpapar penuh oleh narasi digital. Aku mencermati bagaimana sebelum festival dimulai pun, getarannya sudah terasa. Media sosial seperti Twitter, Instagram, hingga TikTok penuh dengan “pre-game”.
Saat hari H tiba, gelombang dokumentasi semakin menggila. Gerbang baru saja dibuka, dan sudah ada puluhan konten OOTD bertebaran. Dalam beberapa jam, festival ini berubah dari yang hanya ‘tontonan’ menjadi saling ‘mempertontonkan’. Ini bukan sekadar menikmati musik, ini tentang hadir dan menunjukkan bahwa kamu bagian dari ‘skena’.
Aku kemudian membandingkan karakteristik Cherrypop dengan festival lain. Tidak banyak festival yang sedemikian berhasil menjadikan pengunjungnya sebagai co-creator dari narasi festival itu sendiri.
Di Cherrypop, pengunjung bukan hanya audiens pasif, melainkan performer dalam ruang digital. Ruang sosial media adalah panggung keduanya. Hal lain yang signifikan adalah keberanian Cherrypop mengaburkan batas antar genre. Di satu stage kita bisa mendengar hyperpop, sementara di panggung lain ada city pop, ambient, noise, bahkan indie techno.
Ini menciptakan lintasan-lintasan baru dalam konsumsi musik, yang tidak berbasis loyalitas genre, melainkan keterbukaan pengalaman. Singkatnya, Cherrypop menghidupkan fluiditas kultural yang sangat relevan dengan karakter generasi hari ini.


Festival ini menjadi ruang aktualisasi kolektif, tempat di mana identitas dan ekspresi menemukan panggungnya secara bebas. Di sinilah kita bisa melihat teori performativitas Judith Butler bekerja, bahwa identitas tidak tetap, tapi diciptakan terus-menerus melalui tindakan. Dan dalam hal ini, tindakan itu adalah menghadiri, berdandan, merekam, dan mengunggah Cherrypop ke ruang digital.
Dari sudut pandang akademik, ini menarik karena memperlihatkan bagaimana budaya populer bukan sekadar bentuk hiburan, tapi juga arena negosiasi makna. Sementara dari sisi kreatif, ini adalah bukti bahwa industri festival musik hari ini tidak lagi hanya tentang suara, tapi tentang konteks pengalaman, komunitas, dan narasi.
Cherrypop telah memahami itu dengan baik. Jadi, saat netizen menyebutnya sebagai “lebaran skena”, itu bukan kebetulan. Itu adalah konsekuensi dari bagaimana festival ini dirasakan, dihidupi, dan dirayakan bersama. (*)
Penulis: Atamimi
Artikel ini merupakan hasil dari program PENA SKENA, sebuah lokakarya dan praktik jurnalisme musik yang diinisasi oleh Cherrypop Festival. PENA SKENA diharapkan bisa mendorong aktivasi jurnalisme musik sebagai salah satu alat pemajuan kebudayaan, yang digerakkan oleh anak muda yang berpihak pada lokalitas.
Baca juga:


