Untitled design-2

“Masuk Skena, Sekenanya Saja!” Catatan dari Titik Ketiga Rekam Skena 2025

“Apakah harus sejahtera dulu buat bertahan di skena Jogja?” 

Pertanyaan itu merupakan pantikan diskusi yang menarik dari Arief Akhmad Yani, narasumber di titik ketiga Rekam Skena di Omah Jayeng milik sutradara film Garin Nugroho. Pria yang akrab disapa Yani ini adalah seorang Program Director Community Forum Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF). Dengan suka hati, ia membuka sudut pandangnya tentang komunitas sebagai alat bertahan hidup di skena Yogyakarta.

Bagi pria kelahiran Kota Malang ini, Yogyakarta sebagai meeting point kesenian memunculkan ragam skena yang bisa diikuti, sampai-sampai bisa bebas mau memilih kiblatnya: utara, selatan, barat, maupun timur. Tidak jarang perbedaan ini membuat adanya dikotomi antara kesenian di wilayah yang berbeda.

“Inilah tantangan yang harus dijawab oleh pelaku skena, bagaimana cara untuk tetap tumbuh dan menghilangkan batas-batas yang dimaksud,” ujar Yani.

Ia memandang bahwa upaya Cherrypop Festival melalui Rekam Skena yang notabene berangkat dari kumpulan scenester dan fokus pada pengarsipan peristiwa adalah salah satu contoh modelnya.

“Kok bisa gitu, (Cherrypop) ngumpulin anak-anak seni: penikmat DJ, penyuka film, pembaca buku, dan membuat karya dokumenter. Itu kan berarti energinya gede banget?” ujarnya heran.

Di tengah-tengah penonton, dua pembuat film dari dua film yang ditayangkan hadir di sesi diskusi malam itu: Fai sebagai produser film ‘Daya Bara’ (2023) dan Doni, DOP ‘Di Balik Lantai Dansa’ (2022). Dua film lainnya berjudul “Tuhan Masukkan Aku ke Dalam Skena” (7 Days Off Production, 2022)  dan “Tidak Ada Party di Kabupaten Ini” (Kolektif Pancaroba, 2023) tidak luput dari penilaian karya “ugal-ugalan” teman-teman kolektif.

Karya dari kolektif yang bahkan pembuatnya bukan dari kalangan profesional film menghadirkan kepuasan sendiri bagi Fai dan Doni. “Senang karena hasil gambarnya ditonton di tahun 2025. Dulu saya merasa karya ini jelek, tapi pas ditonton lagi ternyata keren juga,” aku Doni.

Sementara itu, menurut Fai, selama masih lucu (waktu ditonton), berarti masih berhasil (bikin film). “Dan kemarin masih ada yang ketawa, berarti tidak gagal,” katanya.

Akhmad Yani menambahkan bahwa komunitas-komunitas ini adalah pembentuk simpul-simpul kesenian di setiap kota. Tidak perlu ada persaingan, karena yang sebenarnya harus dijawab adalah bagaimana caranya agar antar skena sebagai komunitas yang merepresentasikan identitas suatu daerah.

Misal seperti Daya Bara yang kental dengan bahasa Banyumasan ngapak. “Bersenang-senang sajalah dulu, tidak usah pentingin bagus atau jelek (karyanya). Yang ada nanti nggak mulai-mulai,” ujarnya.

Pendiri Indonesian Film Community Network (IFCN) ini meyakini bahwa upaya Rekam Skena adalah bagian dari kesadaran akan sebuah pengarsipan audio visual, meski itu hanya direkam menggunakan piranti sederhana. 

“Rekam Skena menjadi bagian yang sangat penting dalam memandang situasi secara global: gerak-gerak teman-teman komunitas melakukan kegiatannya lintas disiplin ilmu. Saya harap Rekam Skena menjadi sangat berguna bagi siapapun yang akan memanfaatkannya, meski tidak di waktu dekat. Jangan khawatir kalian masuk skena apa, masuklah sekena-kenanya,” tutupnya.

Penulis: Balma Bahira Adzkia

Fotografer: Duwik Djoyomiarjo

Baca juga

Artikel Rekomendasi

Website Dalam Tahap Pengembangan

Pengalamanmu menjelajahi website Cherrypop mungkin belum sempurna, karena saat ini lagi proses pengembangan konten.