DWI02468

Bisakah Festival Menjadi Panggung Aktivisme Masa Kini?

Dulu, bagi saya lagu Sukatani terasa biasa aja. Ya, sewajarnya lagu punk yang melakukan perlawanan lewat liriknya. Pandangan saya berubah ketika pada suatu hari ketiga anak saya pura-pura sedang nonton konser Sukatani. 

Anak perempuan saya pura-pura jadi Twister Angel, si sulung jadi polisi, dan si bontot jadi penonton. Mereka membuat rekaan imajiner tentang polisi yang membubarkan konser Sukatani. 

Keluarga kami bukan penggemar musik punk. Meski demikian, lirik lagu Sukatani akhirnya nyantol di anak-anak. Mereka pun jadi melek sejak dini bahwa ternyata fenomena sosial bisa diceritakan ulang lewat sebuah lagu. 

Setelah lagu Sukatani mulai menghilang dari puncak algoritma, ada lagu Nina yang kemudian dengan mudah dihafal oleh anak-anak. Lalu, ya, secara otomatis .Feast masuk ke daftar lagu favorit mereka bersama dengan lagu-lagu dari Hindia dan Lomba Sihir. 

Saya yakin, bukan hanya ketiga anak saya saja generasi alpha yang memiliki ketertarikan pada musik, khususnya musik dengan unsur pergerakan. Bocil seperti mereka, paparannya baru sebatas mendengarkan. Lalu kalau mereka cukup tertarik, akan muncul diskusi dan pertanyaan menggelitik terkait lirik lagunya. 

Tapi, menilik trend belakangan, lagu-lagu dengan unsur aktivisme justru semakin diminati oleh generasi muda. Gen-Z yang pernah difitnah klemar-klemer dan ignorant, nyatanya malah aktif mengulik tema politik setelah idolanya menyuarakan keresahan sosial lewat lirik dan aksi di panggung. Podcast yang ditonton idolanya akan mereka tonton juga. Buku yang dibaca idolanya, akan mereka baca juga. 

Fenomena seperti ini tentu nggak bisa dibilang biasa. Gelombang aktivisme digital yang lahir karena keresahan yang sama berulang-ulang terjadi dan menguasai algoritma. Ada yang bilang, anak-anak muda ini ditunggangi. Tapi apakah benar ada kekuatan asing yang menunggangi pilihan politis mereka? 

Trend dan Algoritma

Dari era 90-an ke 2020-an ada perubahan besar di dunia media. Tadinya, televisi, media cetak, dan radio merupakan rajanya informasi. Apa yang trending di televisi bisa digunakan sebagai alat untuk promosi politis. 

Di era 90-an, artis yang populer di masyarakat berpeluang dilirik oleh pemerintah dan partai politik untuk menjadi “marketing”. Mereka kemudian menjadi corong dan memenuhi layar kaca dengan narasi politis yang terencana dibalut dengan hiburan-hiburan. Pola usang semacam ini masih dipakai hingga Pemilu 2024 lalu. Dan, ya, bisa dikatakan masih cukup efektif. 

Namun perlu dicatat bahwa pasca pemilu –hingga hari ini– para artis arus utama redup bahkan tenggelam. Algoritma tidak berpihak pada artis arus utama yang kehidupannya hedon dan berjarak dari orang biasa. Algoritma menyodorkan hal-hal yang lebih dekat dan relevan pada para penggunanya, yaitu kehidupan yang biasa-biasa aja. 

Tak heran, apa yang tampil di layar ponsel Gen Z dan Gen Alpha justru nggak dimiliki oleh artis arus utama. Saat ini, perihal Iga Massardi yang di panggung sering menyindir penguasa justru lebih relevan daripada berapa uang jajan Rafatar –siapa pula itu–. Dengan sendirinya, value keresahan sosial yang selama ini hadir di ruang-ruang terbatas justru menyeruak berkat algoritma. 

Gen Z dan Gen Alpha mencari tau siapa itu Gita Wirjawan gara-gara Hindia. Mereka juga mengulik Bocor Alus-nya Tempo, lagi-lagi gara-gara Hindia yang bicara soal Aksi Kamisan dalam track “(Kamis)” yang berisi suara Ibu Sumarsih di album terbarunya. 

Bukan hanya isu nasional, perkara internasional pun disuarakan oleh Baskara dan kawan-kawan. “Bebaskan Palestina” menjadi suara yang diteriakkan secara kolektif di panggung skena. Sebut saja dari Seringai, Barasuara, The Adams, The Jansen, hingga Megatruh Soundsystem sudah pernah membawa suara pembebasan Palestina di panggungnya. Di mana ruang ekspresi utama mereka? Yap, di panggung! 

Idola dan Pergerakan

Baskara jelas bukan musisi pertama yang membisikkan pergerakan dalam karyanya. Jauh sebelum Baskara, ada Iwan Fals dari era 90an. Memang di era Suharto, musisi populer lebih banyak main aman. 

Beda dengan saat ini. Nada pergerakan cukup santer ditampilkan oleh pelaku skena. Anak skena dengan sendirinya bisa disebut sebagai aktivis jalur nada dan lirik. Se-abai-abainya  seorang penggemar musik, nggak mungkin ia nggak bisa merasakan keresahan sosial yang disuarakan idolanya. 

Circa 90 hingga 2000-an musisi dan artis kerap digandeng oleh partai untuk menjadi salesnya partai. Dulu, cara itu berhasil. Setidaknya acara-acara kampanye di lapangan akan dipenuhi oleh para penggemar yang nurut saja diajak meneriakkan “hidup partai a!” atau “hidup si anu!” Namun, bagaimana sekarang? 

Kalau pun masih ada yang berhasil, tak bisa juga disebut efektif. Mereka yang masih berhasil menggunakan metode lawas itu, semata-mata karena peran algoritma white branding. Diksi ini dicatat dalam buku Merlyna Lim, “Social Media and Politics in Southeast Asia (2024)” sebagai strategi politik yang banyak diterapkan di Asia Tenggara. 

Tapi lihatlah apa yang terjadi setelah tim-tim pemenangan berhenti bekerja. Yap. Algoritma tersebut juga berhenti bekerja. Di saat inilah aktivisme digital yang dilakukan oleh pelaku skena menjadi sebuah perlawanan terhadap pembodohan masif.

 

Festival yang Berdampak

Di Indonesia ada banyak sekali festival musik. Mulai dari yang semata-mata membidik cuan dari para penggemar musik hingga yang bisa dikatakan punya idealisme cukup tebal. Cherrypop yang tahun ini mengusung tema Gelanggang, bisa disebut sebagai sebuah festival dengan idealisme yang kuat. Namun apakah ia juga cukup kuat menjadi sebuah festival yang berdampak bagi keresahan sosial? 

Cherrypop punya idealisme berbeda dengan festival lokal di Jogja pada umumnya yang memberikan panggung utama hanya untuk band yang sedang naik daun atau populer di kancah nasional. Kiki Pea pernah menuturkan pada peserta Pena Skena 2024 soal ini. 

Jadi begini, Cherrypop ini selalu menjadi tuan rumah bagi band-band mitos dari daerah. Tujuannya adalah untuk memberi kesempatan bagi band lokal menjadi pemilik panggung utama. Bukan hanya itu, perbedaan strategi ini juga memberi pengalaman nggak biasa bagi band populer ketika mereka hadir tapi bukan jadi yang line up paling dinanti.

Biasa aja gitu. Mereka bisa leluasa main di sebuah gigs tanpa beban ekspektasi penonton, wong mereka bukan line up utama. Dan ini justru menjadi kerinduan yang nggak selalu didapat ketika mereka berada dalam sebuah festival musik biasa. 

Karena ruang utama diberikan pada musisi yang besar di arena lokal, secara tidak langsung Cherrypop sudah memantik ruh  aktivisme dalam dunia festival. Kita bisa melihat bahwa band dari daerah seringkali punya kedekatan dengan berbagai ketimpangan sosial. Ironi yang dirasakan dan dilagukan oleh band-band lokal ini rupanya lebih nyata dari lagu-lagu cintanya Yovie Widianto. 

Lirik lagu Sukatani dan band-band daerah lain berangkat dari kenyataan pahit di tengah masyarakat. Apa yang terjadi ketika mereka diberi ruang berekspresi oleh festival seperti Cherrypop? Jelas, dampaknya adalah ribuan penonton yang datang akan memperoleh memori yang melekat. Dan nggak heran jika kemudian selepas festival, para penonton justru terpantik untuk menggali isu lebih dalam. 

Pelaku skena yang tadinya menggunakan media sosial sebagai pelontar riak perlawanan bisa menggunakan panggung sebagai kapalnya. Maka bukanlah sebuah glorifikasi jika saya memandang Cherrypop tak hanya sebatas ajang nostalgia wong lawasan lokal tapi juga corong dari aktivisme dalam dunia skena. Akankah di daerah-daerah lain lahir festival-festival yang seberani Cherrypop? Well, we will see. (*)

Penulis: Butet RSM

Artikel ini merupakan hasil dari program PENA SKENA, sebuah lokakarya dan praktik jurnalisme musik yang diinisasi oleh Cherrypop Festival. PENA SKENA diharapkan bisa mendorong aktivasi jurnalisme musik sebagai salah satu alat pemajuan kebudayaan, yang digerakkan oleh anak muda yang berpihak pada lokalitas.

Baca juga:

Artikel Rekomendasi

Website Dalam Tahap Pengembangan

Pengalamanmu menjelajahi website Cherrypop mungkin belum sempurna, karena saat ini lagi proses pengembangan konten.