Gelaran Cherrypop 2024 telah usai. Ada cerita gembira dari mereka yang turut merayakan karya band idolanya. Ada pula cerita kurang enak tentang sindikat copet, yang mewarnai pesta tahunan anak skena Jogja dan sekitarnya itu. Dari semua kemeriahan yang tersisa, saya ingin sekali mengajak kalian duduk sebentar untuk berkenalan dengan sebuah band celtic punk yang muncul dari warga narimo ing pandum, Jogja. Yap, band yang saya maksud adalah The Cloves and The Tobaccos.
Band yang Populer di Akar Rumput
Saya bukan ingin memberi highlight pada kata narimo ing pandum seakan band ini hadir dan mengemis spotlight lewat itu. Namun, jelas bahwa mereka memang populer di akar rumput. Saat saya menjumpai Pizt di backstage Cherrypop 2024 (Sabtu, 10/08/2024), ia berkata “Benar bahwa kami dekat dengan akar rumput. Saya, kami ini juga berasal dari akar rumput, Mbak.”
Perkenalan saya dengan band ini terjadi tidak sengaja. Saya pertama kali mendengar musik mereka ketika mengirim paket ke kantor drop point jasa ekspedisi. Sebagai seller online ~kecil-kecilan~ yang mandiri, setiap sore saya berpindah dari satu drop point ke drop point yang lain untuk mengirimkan paket-paket saya. Waktu menunggu resi, saya menikmati lagu yang melodinya memenuhi ruangan bersama tumpukan paket-paket.
Melodi, harmonisasi, tempo, dan penggalan lirik yang saya dengar membuat saya penasaran. Setelah mendapat jawaban, saya tak lantas hafal nama band itu. Maklum, nama bandnya cukup rumit bagi kuping medok saya. Di lain hari, lagi-lagi denting lagunya terdengar di drop point yang lain. Akhirnya saya mencatat namanya dan mulai mendengarkan lagu-lagu mereka lewat Spotify.
Lirik yang Nggak Terlalu Sederhana
Setelah beberapa kali mendengarkan, barulah saya paham, pantas saja lagu-lagu mereka kencang terdengar di arus pekerja UMR. Lirik yang dibuat sebenarnya nggak terlalu sederhana. Bukan macam musik arus utama saat ini yang menyukai simplicity. The Cloves and The Tobaccos justru hadir dengan lirik reflektif dari kehidupan penulisnya.
Lirik lagu-lagu mereka tidak gamblang menggambarkan gaji rendah atau kehidupan narimo ing pandum yang menyesakkan. Tapi dalam setiap lagunya, pesan dari The Cloves and The Tobaccos tentang kerasnya kehidupan dan perjuangan jelas terbaca. Di beberapa lagu, terbesit pula perihal nostalgia dan kerinduan. Tentu, dengan gaya yang punk anti menye-menye.
Mengaku Kalah dalam “Biarkan Berlari”
Ada satu lagu menarik dari The Cloves and The Tobaccos yang terang-terangan bicara tentang kekalahan. Lagu ini sudah diputar lebih dari tiga juta kali hingga Agustus 2024 di Spotify. Lagu yang berjudul “Biarkan Berlari” inilah yang berkali-kali saya dengar di beberapa kantor drop point. Begini rupanya saat anak punk mengaku kekalahan setelah berjuang dengan sungguh-sungguh. Walau kalah, ya tetep terdengar atos, punk og!
Begini penggalan liriknya:
“Dan persetan dengan semua
Tunggu saja aku bisa kembali
Cukup sekian kira-kira hari ini
Aku akui aku kalah”
Di hari-hari yang berat ini, pantas saja lagu ini mudah masuk ke frekuensi kelas pekerja UMR Jogja.
Saya bayangkan, jika suatu hari Pizt membuat lagu dengan lirik berbahasa Jawa, mungkin segmen penggemarnya akan semakin meluas. Pendengar awam mungkin nggak terlalu paham dengan apa itu celtic punk. Tapi melodi dan lirik yang berangkat dari latar yang sama pasti dapat lebih mudah lagi diterima orang banyak. Yah, seperti nasib lagu-lagu pop Jawa masa kini yang kini sedang hype di seantero nusantara itu.
Lebih Ramai dari The Jansen
Di Cherrypop 2024 kemarin, band ini mendapatkan penonton jauh lebih banyak dibandingkan dengan The Jansen. Hal ini menjadi menarik buat saya. Saya berada di dekat sound monitor sejak The Jansen tampil. Saya lihat, banyak orang menyingkir setelah mereka memainkan lagu-lagu yang populer di TikTok. Area itu menjadi lengang. Saya pun bebas bergerak maju.
Lalu, tepat pukul 21.15, The Cloves and The Tobaccos naik ke stage. Penonton berdatangan, bertambah banyak dan merapat. Penonton di baris terdepan jelas penggemar berat mereka. Nggak hanya hafal lirik dan bergerak mengikuti melodi.
Crowd surfer pun ada di bagian depan. Rupanya band ini sudah punya penggemar militan. Saya melihat penonton di bagian belakang pun hafal dengan lirik-lirik lagu The Cloves and The Tobaccos.
Bass sempat mati menjelang beberapa lagu terakhir. Tapi hal itu tak menghalangi bingar. Sambil menunggu teknisi mengatasi, Kojack dan kawan-kawan berinisiatif memulai dalam versi akustik. Meski ada gangguan teknis, lagi-lagi peran penggemar membuat pertunjukan lebih berkesan.
Suara barisan penonton yang sing a long “Tapak Tilas Kerinduan” seperti paduan suara, menyempurnakan sound Nanaba Stage yang menurut beberapa kuping terdengar ala kadarnya.
Humble dan Apa Adanya
Meski punya barisan penggemar dan pengikut media sosial cukup banyak, tapi mereka tetap humble, Jogja banget, dan nggak kemaki. Saat saya menjumpai Pizt di backstage ia bercerita tentang kelakar teman-temannya sebelum perform. “Tadi sebelum naik ke stage, kami geguyon karena pesimis melihat jadwal dari stage lain. Nanti kalau penontonnya hanya 2 shaf, sekalian aja diimami.”
Dalam obrolan singkat itu, saya meminta pendapatnya tentang bagaimana kesempatan band kecil yang jauh dari sirkel insan skena kota besar bisa menembus jalur-jalur skena di Jakarta dan Bandung. Ia tertawa.
“Saya paham maksudnya. Memang, saat ini banyak band baru yang bisa cepat naik karena ada tokoh skena yang menggendong. Tapi sebenarnya, popularitas juga bisa digapai dengan cara yang organik, seperti kami.”
Ia pun berpesan untuk band-band yang baru lahir dan punya mimpi besar. Konsistensi, sering berlatih, sering ngumpul, dan membangun jejaring menjadi kunci. Tantangan untuk sebuah band pasti muncul ketika frekuensi temu berkurang, bekerja, dan menikah. The Cloves and The Tobaccos sendiri cukup beruntung karena formasinya masih sama sejak berdiri pada 2006 hingga hari ini.
Tidak banyak band asli Jogja yang berhasil menembus skena musik nasional dan bisa langgeng seperti Sheila on 7 dan Shaggydog. Dibandingkan dengan band yang berasal dari Jakarta dan Bandung, band-band Jogja memang lebih banyak tenggelamnya.
Rasanya, bukan tidak mungkin The Cloves and The Tobaccos kelak akan menyusul jejak Shaggydog dan Sheila on 7, menjadi legenda yang lahir dari mimpi anak-anak biasa di Yogyakarta. (*)
Penulis: Butet RSM, Ibu tiga anak, suka menulis tentang apa saja.
Artikel ini merupakan hasil dari program PENA SKENA, sebuah lokakarya dan praktik jurnalisme musik yang diinisasi oleh Cherrypop Festival. PENA SKENA diharapkan bisa mendorong aktivasi jurnalisme musik sebagai salah satu alat pemajuan kebudayaan, yang digerakkan oleh anak muda yang berpihak pada lokalitas.