Untitled design

Rekam Skena dan Semangat ‘DIY’ Pengarsipan Musik

Hari kedua pemutaran keliling Rekam Skena yang digelar di Mili Sayidan, Yogyakarta pada Selasa, (1/7) semakin menarik ketika para pelaku skena musik berbagi kisah. Empat film yang diputar sebelum sesi diskusi malam itu: enjOi! Cerita Tentang Skinhead Jogja (Galih Eko, 2022), Yogyakarta Magnetnya Rockabilly (Mahadhana Dira dan Valentinus Nagata, 2022), Ruang Kami: Soetedja (Heartcorner Collective, 2023), dan Blocked City (Kolektif Barokah, 2023) memberikan nostalgia bagi Heruwa, vokalis Shaggydog, selaku narasumber malam itu.

Awalnya pemutaran Rekam Skena di Mili Sayidan ini ingin mengulik sudut pandang musisi dan pelaku musik tentang film-film dokumenter yang diputar, namun, siapa sangka jika sesi ini bertransformasi menjadi ajang reuni tongkrongan para scenester dari Sayidan, Realino, Wirobrajan, dan lainnya. Mereka duduk dan berbagi kisah tentang era kemunculan punk, skinhead, hingga rockabilly revival di Yogyakarta.

Heruwa mengapresiasi bagaimana Rekam Skena bisa menjadi jembatan bagi generasi terdahulu dan kekinian dalam mengenal skenanya. “Tidak hanya di Jogja saja. Contohnya yang di Cilacap tadi tuh keren juga menurutku. Semangat DIY (do it yourself)-nya membuat mereka selalu mencari cara bagaimana melanjutkan skenanya masing-masing.

“Pengarsipan itu penting, kita bisa tahu bagaimana jejak perjalanan dan juga jadi bahan refleksi kita,” pesannya.

Begitu pula kawan-kawan lintas generasi dari skena skinhead dan rockabilly Jogja yang memberikan “kesaksian” bagaimana skena musik hidup dan menghidupi orang-orang di dalam ekosistem tersebut. Satu di antaranya Athonk, seorang Tattoo Artist dan pegiat skena Punk & Rockabilly.

Outfit yang tren di kalangan anak skena punk rock waktu itu adalah baju ala tentara lengkap dengan emblem Nazi dan jarang pakai helm karena akan merusak rambut mohawknya,” ujar Athonk lalu tertawa. 

Selain penampilan, identitas pelaku skena bisa ditandai dari merchandise yang dia punya. Salah satu pegiat subkultur –yang juga ikut bercerita malam itu, Sapto mengaku usaha percetakan yang ia miliki mulai menggarap stiker dan sablon kaos pertama kali tahun 1997 untuk acara festival “Jogja Ambyar” dan penjualannya langsung ludes.

“Waktu itu dua hari sebelum acara, tiba-tiba dikontak. Pas itu jelek sekali sablonnya, hanya digesek satu kali dan sekarang tintanya sudah pada mreteli,” kenangnya sambil tertawa.

Tidak ada arsip, tidak ada masa depan. Kesan yang diberikan para “veteran subkultur” seakan-akan menaruh harapan besar pada kelanjutan proyek Rekam Skena dalam hal pendokumentasian dan pengarsipan.

Bahkan, Athonk berharap tidak hanya sekadar arsip historis. “Mungkin bisa tentang apa yang terjadi di backstage, kisah-kisah di balik kejadian, feature, dan lain-lain,”

Sesi screening dan diskusi hari itu membawa kesimpulan tentang peran musik pada ekosistemnya di masa lampau hingga kini. “Dari sini kita bisa melihat bahwa musik itu pintu kecil dari masuknya ke sebuah ekosistem: politik, sosial, ekonomi, dll. spt merch, coffee shop, dll,” ujar sang moderator, Arsita Pinandita. (*)

Penulis: Balma Bahira Adzkia

Fotografer: Duwik Djoyomiarjo

Baca juga

Artikel Rekomendasi

Website Dalam Tahap Pengembangan

Pengalamanmu menjelajahi website Cherrypop mungkin belum sempurna, karena saat ini lagi proses pengembangan konten.