DWI08171

Rekam Skena di Cherrypop Festival: Swasembada Pengarsipan Musik

Partikel debu menghiasi udara Asram Edupark selama dua hari pada 19 – 20 Agustus 2023. Hampir seribuan manusia tumplek di lokasi tersebut. Debu-debu ini membawa sinyal bahwa Cherrypop Fest 2023 sukses besar! 

Cherrypop tahun ini mengusung tema ‘Swasembada Musik’. Ini lekat kaitannya dengan kemandirian, independensi, dan berdikari. Ada 42 penampil dari lintas genre yang fresh. Beberapa di antaranya bertitel “band mitos”.

Festival ini melibatkan banyak pelaku sub-budaya anak muda lintas disiplin seperti musisi, perupa, pembuat film, pegiat kuliner, penjaja busana, dan sebagainya. Benar-benar tumplek-blek di acara ini. 

Tak hanya menyajikan panggung musik, banyak program lainnya yang turut hadir di Cherrypop Fest 2023. Ada pasar populer, rilisan fisik, pemutaran dokumenter musik dari Rekam Skena. Dan yang unik, beberapa program kolaborasi dengan Mojok yang out of the box, seperti Putcast live on stage, kelas menyambal, kelas melipat kain, kelas melipat daun, dan kelas menari. 

Mendokumentasikan budaya musik

Di antara banyaknya program yang dihadirkan oleh Cherrypop, Rekam Skena terlihat ‘seksi’. Ini karena menyajikan film dokumenter yang berkisah tentang budaya musik di sebuah kota tertentu.

FYI, Rekam Skena sendiri merupakan upaya mendokumentasikan budaya musik di sebuah kota melalui film yang berada di bawah payung Cherrypop Festival.

Project ini bermula pada tahun 2022 saat iKonser melakukan aktivasi pencarian band di wilayah Jogja dan Jawa Tengah. Band yang lolos nantinya akan mengokupasi panggung-panggung besar seperti Prambanan Jazz, Jogjarockarta, dan Cherrypop. 

Namun, ketimbang hanya mencari talenta di atas panggung, Cherrypop kemudian meluaskan pencarian dengan mencari bakat lokal yang punya fokus pendokumentasian musik di kotanya. 

“Rekam Skena merupakan wujud idealisme, sedangkan submission band merupakan permintaan sponsor, ” kata Kiki Pea, selaku project director Rekam Skena, saat saya temui di Asram Edupark. 

Lebih jauh, Kiki menjelaskan bahwa Rekam Skena mampu menggerakan dan memberikan kesempatan bagi komunitas atau kolektif setempat untuk merekam budaya musik di dalam kotanya sendiri.

Seperti yang terjadi di kebanyakan kota satelit, sedikit sekali pelaku atau pegiat scene musiknya yang peduli dengan pengarsipan musik di kotanya sendiri. Lantas kenapa medium yang dipilih adalah film?

“Karena membuat film di era sekarang sudah cukup mudah,” tegas Kiki Pea. 

“Tinggal pakai handphone saja udah bisa, editing juga sudah jago, bikin reels hasilnya bagus. Hari ini, konten audio visual lebih banyak diminati seperti reels, tiktok, dan youtube,” imbuhnya. 

Di tahun pertamanya, Rekam Skena menghadirkan lima film yang berasal dari budaya musik di Yogyakarta; “Yogyakarta Magnetnya Rockabilly” oleh Mahadhana Dira & Valentinus Nagata, “Tuhan Masukkan Aku Ke Dalam Skena” oleh 7Days Off.

Lalu, “Di Balik Lantai Dansa” oleh Tuttifruti Collective, “Oi! Ini Skinhead Jogja” oleh Galih Eko Kurniawan, dan “Knock Knock Yer Blues Here” oleh Spasi Latar. 

Rekam Skena wilayah Banyumasan

Pada tahun kedua di 2023 ini Rekam Skena melakukan ekspansi dengan menghadirkan empat film yang berfokus di daerah Eks Karesidenan Banyumasan yaitu Banjarnegara, Purwokerto, Purbalingga dan Cilacap. Cherrypop bekerjasama dengan kolektif lokal setempat untuk menghadirkan berbagai tema yang diangkat. 

Kolektif Pancaroba dari Banjarnegara misalnya mengangkat tajuk “Tidak Ada Party di Kabupaten Ini”. Dokumenter ini menjawab pertanyaan apakah ada hingar bingar gemerlap pertunjukkan di kota dengan UMK paling rendah se-Indonesia ini, dan bagaimana masyarakat sekitar menikmati praktik-praktik kebudayaan populer.

Lalu, ada Heartcorner Collective dari Purwokerto yang mengangkat judul “Ruang Kami: Soetedja”. Dokumenter ini menceritakan pengaruh penting Gedung Soetedja yang menjadi pusat aktivitas musik underground di Purwokerto pada awal tahun 2000-an. 

Nahas, pada 2012 gedung tersebut harus dibongkar oleh pemerintah daerah dengan alasan peran ekonomi pasar tradisional. Kenangan dan romantisme tentang Gedung Soetedja terangkum dalam 12 menit dokumenter ini.

Ada juga “Dayabara” dari teman-teman Purbalingga. Dokumenter ini menceritakan kisah beberapa kolektif dan komunitas yang ada di kota tersebut. Mulai dari Hellofriends, kolektif event dan gigs setempat yang memiliki unit usaha sendiri bernama ‘Punkcel’. Urban Street Culture, komunitas hip-hop yang telah berdiri sejak 2013. 

Lalu, Perpus Jalanan yang rutin melapak di alun-alun, menonton film dan sempat beberapa kali melakukan bedah buku. Sampai lahirlah Harvestmind, program bertani dari mereka yang tidak punya latar belakang pertanian, tapi memiliki semangat untuk bertani. 

Berbeda dengan anak muda zaman sekarang yang kebanyakan bercita-cita kerja di agensi dan startup, namun pemuda di Purbalingga mengangkat swadaya pertanian ramah lingkungannya serta mengenalkan pertanian ke anak muda.

Sementara itu, dari kota industri yang terletak di pesisir selatan provinsi Jawa Tengah hadir sekelompok pemuda yang menamai kolektifnya dengan nama “Barokah Kolektif”. Mereka menyajikan dokumenter berjudul “Blocked City: Independensi di Tengah Kota Industri”. 

Blocked City mengangkat cerita sebuah kolektif subkultur musik dan Skateboard di Cilacap yang aktif menggelar acara musik seperti “Cilacap Independent” pada tahun 2010. Keredupan kreatifitas yang ditandai dengan makin berkurangnya gigs setempat juga diangkat beserta harapan dari dibuatnya dokumenter ini agar memantik semangat untuk kembali mengaktifkan geliat musik di Kota Cilacap.

Swasembada pengarsipan musik

Rekam Skena merupakan bentuk Swasembada. Semua berangkat dari asa kepedulian terhadap pengarsipan musik. Menyambung ucapan Kiki Pea di atas, kebanyakan film dokumenter musik suatu kota memang digagas dan dikerjakan oleh orang-orang yang bukan berasal dari kota tersebut, hal itu berakibat pada munculnya perspektif yang berbeda dibanding ketika narasi itu dikerjakan oleh orang-orang yang berada di dalam scene musik kota yang kisahnya diangkat. 

Keleluasaan yang tim Rekam Skena berikan membuat kolektif bebas memilih topik dan narasi apa yang akan diangkat ke dalam dokumenter. Sehingga mampu merekam dan membaca kota menggunakan teropong musik dengan perspektif lokal dan masyarakat sekitar. 

Acara launching dan nonton bersama Rekam Skena #2 digelar pukul 18:00 WIB di Community Corner Cherrypop Fest 2023. Dibuka dengan sambutan oleh Kiki Pea dan dilanjut dengan sharing session dari tiap kolektif dan komunitas yang berpartisipasi di masing-masing kelima film dokumenter tersebut. 

Lalu, penayangan keempat film secara bergantian disaksikan dengan khidmat oleh para penonton yang hadir. Community Corner memang menjadi pusat berkumpul teman-teman kolektif dan komunitas dari berbagai daerah, sudah jelas interaksi untuk berjejaring sangat tinggi di sana. 

Dari Rekam Skena ke Pena Skena

Seperti tidak pernah kehabisan ide dan movement, pada tahun 2023 Rekam Skena menggagas program turunan baru bernama Pena Skena. Pena Skena merupakan praktik jurnalisme dengan output berupa tulisan jurnalisme musik. Para calon peserta wajib melakukan submission tulisan bertema skena musik lokal yang nantinya akan diseleksi. 

Pada tahun pertama ini jumlah calon peserta yang melakukan submission tulisan berjumlah 41 orang. Lalu, diseleksi menjadi 15 orang. Peserta terpilih kemudian mendapat kesempatan mentoring dan praktek Jurnalisme dari Kiki Pea (Program Director), Nuran Wibisono (Jurnalis Musik), Purnawan S. Adi (Mojok). 

Nantinya, hasil tulisan dari peserta Pena Skena akan dimuat di website Rekam Skena dan ada harapan untuk dicetak. Lengkap sudah keseruan Cherrypop yang terarsip secara rapih terekam dalam audio visual tim dokumentasi dan dicatat dengan lugas oleh para peserta Pena Skena.

Alangkah lebih baiknya jika program Rekam Skena dan Pena Skena ini berkelanjutan ke depannya agar terus menjaga semangat para arsiparis dan jurnalis musik muda tanah air. Jarang sekali sekelas festival musik menaruh perhatian pada pengarsipan dan penulisan jurnalisme musik. Gerakan yang sudah dimulai dengan baik ini harus terus berlanjut tiap tahunnya agar merangsang dan menular ke festival-festival lainnya.

Sebagai penutup, saya mengutip tulisan dari Nuran Wibisono bahwa ekosistem dan industri musik yang baik harus memiliki akar yang kokoh. Salah satunya adalah pengarsipan yang baik. Rekam skena sudah melakukan upaya tersebut melalui film dokumenter dan program turunannya yaitu Pena Skena yang mencatat sejarah yang tidak akan dilakukan oleh negara. Tabik!

Penulis: Ali Izza
Editor: Purnawan Setyo Adi

10-11 AGTS 2024

LAPANGAN KENARI, YOGYAKARTA