Selepas adzan maghrib, panggung Cherry Stage berubah gelap. Tiga orang berdandan hantu dan seorang wanita muncul di atas panggung. Mereka mengajak semua penonton untuk merusuh. Mengabaikan Silampukau yang sedang berdendang di panggung ujung. VMO alias Violent Magic Orchestra tampil pada hari pertama Cherrypop Festival, 10 Agustus 2024.
Grup musik asal Osaka Jepang ini tampil memukau selama 45 menit penuh. Memainkan musik techno dengan perpaduan black metal, mereka menggempur panggung Cherry Stage tanpa jeda. Mendengar musik yang terus berdentum, penonton pun jadi berdansa liar. VMO memang dikenal dengan pendekatan eksperimental dan ekstrem dalam bermusiknya.
Mereka menggabungkan elemen black metal, techno, dan juga seni visual. Dalam penampilan live-nya, mereka terkenal sangat intens dan penuh energi. Inovasi dalam menggabungkan berbagai genre musik dan efek visual memang menciptakan pengalaman yang unik kepada para audiens. Keempat manusia asal Jepang itu muncul ke atas panggung dengan cukup menyeramkan.
Mereka muncul dengan dengan corpse paint yang wajahnya dipenuhi cat warna kulit putih seperti make up pantomime dan juga olesan hitam di daerah mata yang melambangkan karakteristik dari black metal. Lighting hitam putih yang menyorot mereka beserta visual tengkorak di belakang menghadirkan suasana yang begitu kelam.


Musik techno yang berpadu dengan black metal berdentum kencang membuat penonton meliar. Di area moshpit, penonton langsung bermoshing ria. Kepala tidak berhenti bergeleng, tubuh tak mandek untuk bergerak. Para penonton pun saling bertabrakan menikmati sajian Violent Magic Orchestra. Pertunjukan mereka dibuka oleh track “New World Ballad”, sebuah ucapan selamat datang dengan aura Black Metal.
Zastar, vokalis VMO, menyorotkan senter lasernya ke arah penonton. Moshpit yang gelap pun membuat seluruh pandangan tertuju padanya. Seperti seorang gadis yang sedang bermain, Zastar terus memutar-memutar senternya yang memunculkan efek seperti lampu disko. Bernyanyi dengan suara yang susah untuk diterjemahkan, ia seperti ingin mengungkapkan “selamat datang di dunia kegelapan”.
Penonton pun seperti dibuat tertegun dengan penampilan Zastar. Dengan wajah yang manis bak puteri kerajaan Jepang, ia dikelilingi oleh 3 makhluk yang berpenampilan hantu dan berkaos Hardcore Utopia. Suara erangan kebisingannya barangkali cukup kontradiktif dengan parasnya yang ayu. Suara vokal parau dengan teknik black metal itu menyebar ke seluruh penjuru.
Lampu yang menyorotnya dari bawah juga memunculkan efek siluet yang menakjubkan. Penonton yang menyaksikan dari bawah, tak hanya diberi sajian musik, detil visual yang disajikan pun sangat menarik disaksikan. 10 menit berlalu, tempo musik yang disajikan perlahan naik. Dengan sentuhan musik techno rave yang menjadi tulang utama musik mereka, membuat siapapun yang hadir di acara malam itu menjadi blingsatan.

Kezza, salah satu hantu, yang tampil di belakang tiba-tiba berlari ke depan barikade. Di atas barikade, ia mencoba memancing penonton untuk semakin meliar. Wajah seram dengan rambut jarang-jarang tapi naik seperti padi miliknya membuat penonton maju untuk mengerubutinya. Kezza pun akhirnya melompat kearah penonton dan melakukan surf dance.
Menyaksikan penampilan itu, saya seperti melihat seorang zombie yang diangkat di atas keranda. Haha. Seturunnya dari surf dance, ia berlari kecil kesana kemari untuk ikut cair menikmati pesta bersama penonton. Visual pendukung yang ditampilkan memang menyiratkan pesan-pesan kegelapan. Disajikan diantaranya gambar zombie-zombie bangkit dari kubur, anatomi tubuh manusia yang terus bergerak, dan juga Istana suwung yang dipenuhi para monster.
Panggung Cherrystage saat itu seperti sedang mengadakan rave party kegelapan. Penampilan lighting sederhana hitam putih, dengan strobo tipis memang menghadirkan sesuatu kekelaman yang megah.
Mongo, salah satu monster yang berada di kanan Zastar juga turut melakukan aksi teatrikal lewat permainan senternya. Tidak mau kalah dengan Kezza, ia naik ke atas barikade untuk mengundang keliaran penonton. Suara gitar yang menyayat dari Keido, salah satu monster di kiri panggung, membuat penonton semakin menggila.
Area moshpit menjadi penuh debu akibat penonton yang terus berlarian. Pasir di tanah Lapangan Kenari itu pun naik seiring penonton membuat circle pit. Wildan, salah seorang penonton yang turut meliar saat itu mengungkapkan bahwa ia sangat menunggu-nunggu penampilan dari VMO. Ia hanya sekadar mengetahui Violent Magic Orchestra dari internet namun susah untuk menghafal lagu-lagunya.


Grup musik semacam Violent Magic Orchestra ini barangkali memang lebih menarik untuk disaksikan pertunjukan musiknya daripada diikuti lagu-lagunya. “Saya nggak tahu lagu-lagunya. Lagunya itu susah-susah. Yang penting bisa nonton VMO ini seneng banget. Liar,” ujarnya.
Demikian juga Rico, salah seorang penonton dari Jakarta. Ditanya mengenai VMO, ia sebelumnya tidak mengetahui sama sekali apa pun tentang VMO. Ia hanya tahu dari unggahan dari Instagram Cherrypop bahwa ini grup dari Jepang. Menyaksikan pertama kali pertunjukan semacam itu memberi pengalaman yang unik buatnya.
“Jujur saya nggak tahu apa pun tentang VMO. Tapi pertunjukannya ini sangat menghibur sih. Penampilannya liar gitu. Asyik buat joget juga. Lumayan lah dapat keringet,” ucapnya dengan cengengesan.
Diketahui bahwa penampilan VMO di Cherrypop merupakan rangkaian tour mereka bertajuk “Indonesia Tour”. Selain tampil di Yogyakarta, grup musik yang sudah merilis 2 album yaitu Catastrophic Anonymous (2014) dan Death Rave (2024) ini juga tampil di Jakarta dan juga Bali. Tour mereka dilakukan secara mandiri ala Musisi-musisi underground.
Di Jakarta mereka tampil di Krapela, sedangkan di Bali mereka tampil di SNS Denpasar. Selama menjalani tour ke berbagai negara, diketahui juga bahwa VMO acapkali bermain bersama GMO dalam suatu acara. Penampilan Violent Magic Orchestra memang menjadi pembeda dari line up yang disajikan di Cherrypop Festival. Jika tahun lalu, Cherrypop mengundang GMO (Gabber Modus Operandi), tahun ini panitera mengundang VMO.

Para pecinta musik eksperimental menjadi diberi wadah untuk turut menikmati festival berbalut musik pop ini. Demikian pula pecinta musik populer, mereka juga menjadi diperkenalkan dengan musik-musik unik semacam ini. Kehadiran rave party pada sebuah festival memang memang membuat penonton diberi berbagai menu pilihan alternatif. Tidak melulu yang itu-itu saja.
Yah, ini tentu menjadi sebuah alasan kenapa Cherrypop akan selalu ditunggu tiap tahunnya. Saya akan selalu menantikan grup-grup anti mainstream macam ini.
Penulis: Ismail Noer Surendra, penulis lepas yang suka kelepasan menulis.