Terbentuk pada awal tahun 2023 atas dasar semangat yang sama, Kolektif Pancaroba berikhtiar untuk memperkaya dan merayakan keberagaman musik tidak hanya di Banjarnegara, namun juga nasional. Mereka yang hingga hari ini aktif di Kolektif Pancaroba adalah Sarrotama Wara Nugraha (Tama), Sastagama, Adhy, dan Ian Alam Sukarso.
Kolektif ini acap menjelajahi dan menciptakan dinamika yang baru dan menarik. Selain mengorganisir agenda musik rutin, Kolektif Pancaroba juga aktif melakukan pergerakan dalam skema kolaboratif untuk membangun dan memperkuat jaringan.
Salah satu upaya praktik berlandaskan musik yang menjadi salah satu program mereka adalah “Meeting Room Live!”. Gelaran ini pertama diinisiasi tahun 2019, dan terus berlangsung hingga sekarang.
“Meeting Room Live!” sejatinya mengedepankan perjumpaan tatap muka sebagai pertukaran energi yang harmonis antar sesama pelaku industri kreatif. Tidak hanya menempatkan para pemusik di dalam porsi yang proporsional, namun juga turut serta UMKM yang bebas dan teratur mendistribusikan produk mereka.
Selain eksplorasi musikal, Kolektif Pancaroba juga secara aktif melakukan eksplorasi pada praktik-praktik yang beririsan, di antaranya produksi video. Atas dasar itu pula proyek Rekam Skena #2 tidak ragu menggandeng Kolektif Pancaroba menjadi partisipan.
“Excited berpartisipasi dan berkontribusi di program ini. Terlebih ini juga sejalan dengan visi kolektif Pancaroba, mempertemukan pelaku film dan juga musik. Melibatkan mereka dalam proyek ini dengan membawa nama Banjarnegara, untuk bisa terkoneksi dalam pergerakan skena di kota lain,” tutur Tama.
Melalui proyek Rekam Skena ini pula, Kolektif Pancaroba sepakat menggunakan kesempatan ini untuk mengritik ketidakmampuan pegiat ataupun kolektif kesenian di Banjarnegara dalam merumuskan praktik ekonomi, penajaman literasi, konsistensi, ataupun peningkatan mutu terutama dibidang musik.
Kolektif ini menilai apabila perjalanan dan dinamika praktik tersebut sejatinya merupakan sikap inferiority-complex masyarakat kabupaten yang terlalu miskin atas dasar referensi-referensi yang tidak kokoh, membuntut dari praktik-praktik kebudayaan populer.
“Kami coba melakukan otokritik dan berusaha menampakkan masalah-masalah yang ada, bagaimana Banjarnegara dalam dunia musik-nya sampai hari ini tidak menjukkan taringnya,” lanjut Tama.
Kolektif ini menilai apabila perjalanan dan dinamika praktik tersebut sejatinya merupakan sikap inferiority-complex masyarakat kabupaten yang terlalu miskin atas dasar referensi-referensi yang tidak kokoh, membuntut dari praktik-praktik kebudayaan populer.
“Kota Banjarnegara bisa menjadi opsi, di sini ada dinamika kolektif yang menarik untuk bisa ditengok,” pungkasnya. (*)