”From Rice Importer to Self Sufficiency”, begitulah tulisan yang tertulis di salah satu sisi keping medali yang diserahkan oleh Direktur Jenderal Food and Agriculture Organization, Dr. Eduard Saoma kepada Presiden Soeharto tahun 1986. Penghargaan ini diberikan kepada Indonesia lantaran capaian swasembada pangan di tahun 1984.
Saat Soeharto mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, keadaan Indonesia sedang memburuk: utang menumpuk, daya beli masyarakat menurun, dan harga barang pun melambung tinggi. Indikasi menuju era kelaparan terpampang di depan, Pemerintahan Soeharto berpikir keras tentang ketahanan pangan nasional. Maka dipropagandakanlah revolusi hijau, pengalihan sistem pertanian tradisional menjadi modern dengan harapan dapat meningkatkan produksi pertanian.
Usut punya usut ternyata ini bukan murni tentang ketahanan pangan, makan dan kelaparan. Ada kepentingan bisnis yang diseludupkan di dalamnya bahkan mungkin itulah agenda utamanya, jika kita memahami betapa rakusnya lingkar orde baru memangsa sesama anak bangsa. Mari kita telisik apa saja turunan dari program swasembada pangan era orde baru.
Dengan dalih agar “panen cepat”, masyarakat diharuskan menggunakan varietas bibit unggul, pupuk kimia dan insektisida yang sudah disiapkan. Masyarakat juga dicuciotaknya agar menggunakan metode pembajakan dengan mesin saat melakukan proses penanaman.
Jika kita mau meluangkan waktu sedikit saja untuk berpikir, jelas terpampang kepentingan bisnis dari segelintir orang dibalik program swasembada pangan. Yang paling menyebalkan nan menjengkelkan di titik ini adalah narasi heroik di awal bahwa ini demi ketahanan pangan nasional, padahal blablabla.
Selain itu, program swasembada pangan menyisakan satu luka menganga yang masih membekas hingga hari ini yaitu para pemilik lahan yang dulunya membutuhkan tenaga orang lain sedikit demi sedikit menjadi tidak perlu karena digantikan oleh mesin. Produksi padi melimpah tapi buruh tani sulit mencari kerja.
Nilai-nilai kapitalisme mulai merasuk pada tubuh ekonomi masyarakat. Salah satu tempat yang pernah terkena dampak dari program Swasembada Pangan adalah seluruh pedesaan di Yogyakarta.
Tahun 2023, 39 tahun setelah Indonesia meraih capaian swasembada pangan, ada sebuah festival musik di Yogyakarta bernama Cherrypop yang mengusung tema acara “Swasembada Musik”. Apa itu swasembada musik? Apakah ada hubungannya dengan swasembada pangan, program probelamtik era orde baru?
Saya menemui Arsita Pinandita, Creative Director Cherrypop 2023 untuk mengkonfirmasi tentang pemilihan tema “Swasembada Musik”.
“Swasembada musik idenya kami ambil dari istilah era orde baru yaitu swasembada pangan, kemandirian dalam mempersiapkan makanan sendiri. Jika diterjemahkan hari ini, kami ingin membuktikan bahwa teman-teman skena musik yang selalu dituduh generasi mager, apatis, dan tidak melihat perubahan adalah salah. Tuduhan itu salah. Hal yang dituduhkan tersebut tidak perlu dibantah tapi diwujudkan dalam bentuk statemen swasembada musik”, tutur Dito, panggilan akrabnya.
“Lalu dari kerangka berpikir ini kita padu padankan lagi dengan pemilihan lokasi acara yang penuh pepohonan serta aktivasi-aktivasi lain yang sesuai dengan tema swasembada musik selain pertunjukan musik itu sendiri”, tambahnya.
Saya mencatat setidaknya ada enam aktivasi selain pertunjukan musik yang disuguhkan di Cherrypop festival 2023, antara lain pameran artwork/ilustrasi dari Ahmad Oka yang kesehariannya adalah petani selain sebagai artworker, lalu ada live sablon dari kolektif Krack Studio, toko rilisan fisik dari Jogja Record Store Club, kelas menyambal dan berkain dari Mojok.co serta pemutaran dan diskusi film dokumenter dari Rekam Skena.
“Cherrypop harus menampilkan seluruh ekosistem yang menghidupi musik, semuanya itu guna menunjukan bahwa inilah kemandirian”, tutur Dito.
Kalau boleh jujur, menu-menu aktivasi seperti yang saya jelaskan di atas bukanlah hal baru dalam pelaksanaan festival musik. Seingat saya sejak awal pelaksanaan Synchronize Festival, salah satu festival musik tersohor di ibukota, sudah dilakukan aktivasi seperti toko rilisan fisik dan hal-hal lain yang menjadi bagian dari ekosistem musik. Lalu apa istemewanya Cherrypop Festival? Apa yang membedakan dengan acara musik lain berlabel festival di luar sana?
“Cita-cita Cherrypop adalah mencoba mengaburkan kelas, kami selalu tidak mau mengatakan dengan sebutan band daerah, menurut saya yang lebih tepat adalah band setempat. Ini adalah proyek lebay,” tutur Dito, yang kesehariannya adalah seorang dosen di kampus desain komunikasi visual.
Idiom “band ibukota” versus “band daerah” adalah narasi usang yang sudah seharusnya kita kubur dalam-dalam. Biarkan ia dimakan cacing bersama orang-orang goblok yang menciptakan narasi itu. Ini semua hanya tentang bisnis. Sehingga seakan-akan band yang berasal ibukota selalu lebih keren dan lebih mahal dari band yang bukan berasal dari ibukota.
Keadaan ini diperparah oleh banyaknya penyelenggara acara musik yang selalu menempatkan band yang berasal dari ibukota sebagai “headliner”. Alasannya hampir seragam, band dari ibukota memiliki banyak penggemar, mereka tidak mau mengambil resiko menampilkan band “setempat” sebagai headliner karena ketakutan acaranya akan sepi penonton.
“Hidup kok takut mengambil risiko, mati aja sana!”.
Lalu apa yang membedakan Cherrypop Festival 2023 dengan festival musik lain untuk urusan line up band yang tampil? Catatan pertama saya, di hari terakhir pelaksanaannya, seluruh panggung ditutup oleh penampil yang berasal dari Jogja. Band setempat dipercaya oleh Cherrypop sebagai headliner seluruh panggung.
Cherry stage ditutup oleh Jenny, band yang sudah mati yang dihidupkan kembali oleh Cherrypop, nanaba stage ditutup oleh NDX aka, duo ndeso yang sukses menjadi guilty pleasure banyak orang, dan Yapapa Stage ditutup oleh Dom 65, dedengkot punk rock Jogja yang setiap pertunjukannya selalu penuh amarah dan bergairah.
Catatan kedua saya, ada 20 band jogja dari total 40 band yang tampil di Cherrypop festival 2023. Catatan ketiga saya, Cherrypop memberi tempat beberapa band pendatang baru di Jogja untuk tampil di waktu “prime time”. Jumat Gombrong dan The Kick diberikan karpet merah bermain di panggung utama dan di waktu sedang ramai-ramainya para penonton. Ini bukan tentang Jogjasentris. Ini tentang usaha mengaburkan kelas.
“Untuk pemilihan lineup, kami akan selalu mengutamakan band setempat terlebih dahulu, dalam hal ini band Jogja karena tempatnya di Jogja. Karena secara geografis posisi Jogja terletak di tengah, kami ingin mempertemukan musisi atau band dari barat dan timur Jogja. Kami juga akan menampilkan band-band mitos yang masih diperbincangkan, lalu band-band popular yang spiritnya sama dengan tema Cherrypop tahun ini, contohnya NDX aka, mereka itu dulunya kuli bangunan sebelum popular seperti sekarang. Saya menjamin, vibes seperti ini susah untuk kalian temui di tempat lain karena ini adalah hal otentik yang ada di sini. Kata kuncinya adalah otentik”, tutur Dito menutup perbincangan kami.
Saya meninggalkan Dito untuk bergegas ke belakang panggung, bertemu beberapa penampil yang bukan berasal dari Jogja. Saya menemui Aji dan Tata dari The Jansen, Ramones-core kebanggaan Kota Bogor, Acin dari The Panturas, band surf rock paling sukses di Indonesia kebanggaan Jatinangor, Wisnu dan Aghan dari Monkey to Millionaire, dedengkot alternative rock ibukota, satu-satunya kumpulan “monyet modern” di Indonesia yang bisa membuat lirik “mereka yang kita sayangi, yang paling mampu melukai”, Badrus – Iden – Insan dari Lorjhu, budayawan Madura yang menggunakan musik sebagai senjata.
Saya bertanya pada mereka semua, “apa yang kalian pikirkan saat mendengar tagline swasembada musik?”. Berikut jawaban dari mereka :
Tata dan Aji dari The Jansen:
- Tata : “Saya langsung terpikir “pesta rakyat” saat mendengar kata swasembada musik, sangat Jogja sekali dan mengingatkan tentang paham sosialis. Haha”.
- Aji : “Saya langsung terpikir “gotong royong” saat mendengar kata swasembada musik. Untuk mencukupi kebutuhan musik di Jogja harus dilakukan dengan gotong royong dan itu saya rasakan saat berada di acara ini, gotong royong banget, musik rakyat “skena musik Jogja”.
Acin dari The Panturas :
- “Tagline swasembada musik vibesnya kolektif banget ya, di panggung The Panturas tampil, ada ruang untuk kami bisa dekat dengan penonton. Panggung berbentuk amphitheater, menyenangkan. Suasananya agak-agak fuji rock gitu ya. Haha. Swasembada musik juga bisa diartikan sebagai ketahanan skena, membuat industri tandingan ini agar bisa bertahan, mungkin lebih tepatnya melebur, haha”.
Wisnu dan Aghan dari Monkey to Millionaire :
- “Kami langsung terpikir tentang “working class”. Di luar aktifitas bermusik, kami adalah pekerja juga dengan bidang yang kami geluti masing-masing, guna menunjang ketahanan hidup kami. Pekerjaan yang kami jalani disesuaikan dengan struktur kota yang kami tinggali. Jogja dan sekitarnya masih banyak lahan pertanian, yang kemungkinan besar ada juga musisi yang menjadi petani, sedangkan di Jakarta gak mungkin seperti itu. Tapi kami juga pekerja. Semua musisi yang turun panggung adalah manusia biasa, jadi bisa menjadi apa saja setelah turun panggung”.
Badrus, Iden, dan Insan dari Lorjhu :
- Badrus : “Ini tentang kemandirian yang dibangun jauh dari kata sederhana, dibangun dari sesuatu hal yang istimewa, dan dinikmati serta dirasakan oleh semua orang yang berada dalam ekosistem ini. Kita bisa istemewa dengan hanya makan ketela seperti tiwul misalnya, tanpa harus makan makanan import. Pemilihan venue acara pun menarik banget, bagi gw dari venuenya aja sudah mencerminkan kemandirian”.
- Iden : “Yang gue tangkap dari swasembada musik, ini bukan lagi tentang pengkotak-kotakan musik, walaupun musik itu butuh dikotakkan agar bisa dikenali, tapi Cherrypop ingin mengatakan bahwa musik adalah wadah yang “bulat”.
- Insan : “Aku langsung terpikir tentang kultur daerah yang memiliki lahan pertanian, hutan yang rimbun, penghasil bahan pangan dan hasil bumi lainnya”.
Sebelum mengakhiri wawancara, saya iseng bertanya kepada mereka, “apakah musik yang kalian mainkan saat ini sudah bisa menghidupi kalian?”. Berikut jawaban dari mereka :
Tata dan Aji dari The Jansen:
- “Bagi kami bermusik itu hobi, jadi sejak awal kami memang gak mau membebankan kehidupan kami pada musik The Jansen. Kalau cukup mah cukup cukup aja. Kalau bermain musik terus pasti akan jenuh, jadi kami mencari kesibukan lain”.
Acin dari The Panturas :
- “Secara pribadi saya sudah bisa hidup dari bermain band walaupun agak serabutan dan bikin degdegan, jadwal manggung bulan ini ramai bulan depan bisa sepi. Tapi sejauh ini saya sudah bisa hidup dari musik yang saya mainkan”.
Wisnu dan Aghan dari Monkey to Millionaire :
- “Monkey belum bisa menghidupi kami secara ekonomi, karena konsekuensi dari musik yang kami pilih tapi ya itu pilihan kami, kami senang menjalaninya. Kami hanya ingin memainkan musik yang bagus menurut selera kami. Bermusik adalah bentuk “me time”nya kami”.
Badrus, Iden, dan Insan dari Lorjhu :
- “Lorjhu itu bagi kami bukan sumber penghasilan dalam bentuk apapun, buat kami Lorjhu adalah anugerah. Karena itu adalah anugerah, maka ada hal-hal lain yang akan mengikuti setelahnya. Lorjhu sebagai karya, sudah hidup. Menghidupi itu luas maknanya. Secara ekonomi, memang belum. Tapi bisa jadi kami mendapatkan penghidupan lain misalnya diberi kesempatan berkarya dalam Bahasa Madura bisa dimaknai sebagai penghidupan bahkan sebuah keberuntungan”.
Untuk mengakhiri tulisan ini, pertama saya ingin mengucapkan terima kasih dan selamat kepada seluruh panitia Cherrypop Festival 2023, kerja keras kalian guna mewujudkan sebuah peristiwa budaya yang bermakna, berhasil. Kedua, saya ingin menghimbau kepada seluruh penyelenggara acara musik yang ketakutan acaranya akan sepi penonton dan terkesan tidak keren jika memasang band yang bukan berasal dari ibukota sebagai headliner, pola pikir seperti itu sudah usang.
Dengarkanlah petuah Sirin Farid Stevy di lagu hujan mata pisau, “keberanian yang menyelamatkan”, Cherrypop Festival 2023 sudah membuktikannya. Jangan penonton setempat saja yang kalian peloroti untuk membeli tiket, sedang band setempat tak pernah kalian berikan tempat.
Ketiga, saya ingin mengajak kepada seluruh pembaca tulisan ini untuk meluangkan waktu memikirkan ulang makna kemandirian guna menciptakan industri tandingan. Bagian yang ketiga ini terlalu muluk-muluk ya. Gak apa-apa, namanya juga skena, haha. Keempat, saya ingin bernostalgia tentang Jogja yang pernah punya sebuah festival musik, jauh sebelum Cherrypop Festival ada, dengan narasi memainkan “band setempat” juga, namun sayangnya berakhir tragis. Festival tersebut bernama Locstock Festival. Tentu generasi hari ini bisa mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut.
Kelima, cukup banyak peristiwa memorable yang saya dapatkan di Cherrypop Festival 2023, antara lain bisa menonton Southern Beach Terror yang katanya hanya mau tampil 5 tahun sekali. Walau dengan sound yang rada “busuk”, paling tidak jadi pengalaman pertama saya yang mengesankan menonton band surf rock pertama di Indonesia ini, (katanya). Lalu menjadi saksi perisitiwa terlahir kembali sebuah band yang sudah mati bernama Jenny. Saya berjanji akan membuat tulisan khusus tentang peristiwa ini.
Terakhir, saya ingin mengatakan Cherrypop Festival 2023 akan menjadi festival musik yang selalu diingat di memori kolektif orang-orang yang pernah bersentuhan dengan skena musik Jogja, setidaknya periode 20 tahun terakhir. Otentik dan memorable adalah 2 kata untuk menggambarkan Cherrypop Festival 2023. Epik!
Tambahan, menurut penuturan Mas Dito, Creative Director Cherrypop Festival, kata Cherrypop terinspirasi dari sebuah festival musik di luar negeri bernama Pinkpop Festival. Iseng, saya mencari tahu makna Cherrypop lewat chat GPT, berikut hasilnya :
“Cherry pop” dapat merujuk pada istilah slang yang digunakan untuk menggambarkan pengalaman seseorang kehilangan keperawanan atau melakukan hubungan seksual pertama kalinya.
Penulis: Andeskal Suryawan