“Dalam dunia yang penuh canda, Ada musik ada cerita, Semua milikku”
Sepenggal lirik lagu “Musik dan Aku” dari band Rock asal Jogja bernama Partha Putri ini seakan menjadi petanda bagaimana sudut pandang saya menerjemahkan Rekam Skena.
Saya coba merekam perjalanan skena musik Jogja sejauh ruang ingatan saya, sesuai tema yang dipilih saat briefing Pena Skena di hari pertama sebelum gelaran Cherrypop Festival 2023 berlangsung.
Sebagai penikmat musik tinggal di luar Jogja, saya hanya melihat dari sisi luarnya saja. Ditambah ada masa hiatus dimana saya melewatkan begitu banyak peristiwa penting yang terjadi di dalam skena musik Jogja.
“Musik dan Aku” berada di urutan lagu ke 5 di sisi A di kaset kompilasi Festival Rock Indonesia ke V tahun 1989 produksi Logiss Records. Mengapa baru dilakukan pada putaran yang ke V?
Karena pada gelaran I sampai ke IV, band rock yang ikut ambil bagian dalam kompetisi ini belum diwajibkan membawakan karya sendiri. Mereka kebanyakan adalah band epigon. Hal yang lumrah di skena musik rock tanah air kala itu.
Festival rock ini pernah menjadi barometer arus utama industri musik rock nasional selama dua dekade, album kaset ini pun menjadi awal perjumpaan saya dengan Partha Putri.
Partha Putri seluruhnya beranggotakan kaum hawa, berdiri di antara band hard rock dan heavy metal saat itu yang dikenal dengan imaji nan sangar. Hal ini seakan menjadi semacam oase bagi penggemar musik rock yang merindukan kehadiran kembali Dara Puspita dari Surabaya dengan lirik yang sederhana, jujur dan lugas.
Mengusung genre progresif rock yang mengedepankan elemen bunyi synthesizer membuat Partha Putri terlihat berbeda dibanding dengan Andromedha, Power Metal (Surabaya), Kaisar (Solo), Rudal (Bandung) dan Roxx (Jakarta) yang menjadi unggulan dari kaset album kompilasi ini.
Di saat band rock lain berpacu dengan raungan distorsi gitar dan gemuruh pukulan drum, Partha Putri sebaliknya. Bahkan secara lirik, “Musik dan Aku” begitu personal dan dekat dengan kehidupan sehari-hari mereka. Jauh dari stereotype band-band progresif rock saat itu yang liriknya mengawang-awang.
Tampak sekali mereka tidak berharap banyak pada aktifitas bermusik di atas sorot lampu panggung yang bersifat sementara. Kesadaran ini seakan menjadi karakteristik bahwa tidak banyak band-band Jogja yang tidak berumur panjang, meskipun mempunyai musikalitas yang tinggi.
Karir Partha Putri pun sangat singkat, namanya tidak begitu dikenal bahkan di skena musik Jogja sendiri, kecuali mereka yang hidup di era keemasan musik rock.
Kemudian saya mencari tahu band Jogja lainnya, dan seorang kawan merekomendasikan nama Rolland Band, yang saat itu telah merilis album Gigolo (1987) di bawah label rekaman Billboard, satu tahun sebelum God Bless merilis ‘Semut Hitam’. Bisa dibilang Rolland Band adalah band heavy metal pertama di Indonesia yang merilis album penuh.
Pada tahun 1993, di ajang Festival Rock Indonesia ke VII, untuk pertama kalinya Log Zhelebour menempatkan malam grand final di kota Jogja. Inilah kali pertama saya menonton festival musik di kota pelajar, meskipun penyematan kata “festival” pada ajang ini di kemudian hari menuai perdebatan.
Untuk kedua kalinya, band tuan rumah Cassanova tampil sebagai finalis dan berhasil menjadi juara ke II. Selama masa karirnya menapaki ajang besutan Log Zhelebour, Cassanova meninggalkan jejak dua single yaitu ‘Jerit’ dan ‘Tengara’ yang terdapat pada kaset album kompilasi Festival Rock Se Indonesia ke VI dan ke VII.
Corak musik yang mewakili era ini, kelak tongkat estafetnya diteruskan kembali oleh band bernama Sangkakala dan Tiger Paw dengan semangat jaman yang berbeda.
14 Januari 1996, Java Musikindo menyelenggarakan Jakarta Alternative Pop Festival. Banyak pihak mengatakan konser ini sebagai tonggak festival musik berskala besar dengan makna yang sesungguhnya. Embrionya berasal dari festival-festival musik berskala kecil di kampus-kampus kota besar, sebagai bentuk perlawanan hegemoni festival rock Log Zhelebour yang telah membuat salah kaprah kata “festival” menjadi ajang kompetisi, dan Jogja termasuk salah satunya.
Geliat ini muncul dari kalangan mahasiswa yang ingin tampak berbeda dengan kelompok lain. Bila sebelumnya musik hard rock dan heavy metal dianggap aneh dan nyentrik, saat itu mulai ditinggalkan karena cemen dan menjemukan.
Dari pergerakan secara bawah tanah ini lahirlah subgenre baru yaitu: punk, hardcore, grindcore, death/black metal, grunge, elektronik hingga britpop yang sarat dengan semangat kemandirian. Dari sinilah kata “scene” yang dikemudian hari dikenal dengan skena mulai terdengar.
Skena ini kemudian diapresiasi oleh anak muda Jogja di luar kampus, karena memiliki otentisitas yang istimewa. Dari segi popularitas, band-band bawah tanah tidak kalah dengan band-band arus utama. Bahkan, dikalangan anak muda, pengetahuan tentang musik bawah tanah kerap menjadi indikator keren, serta artsy atau tidaknya seseorang.
Pada dekade ini lahir nama-nama seperti; Death Vomit, Mistis, Black Boots, Sabotage, Performance Fucktory, Teknoshit, Bangkutaman, Seek Six Sick, dan Shaggydog. Gagasan tentang membuat album rekaman sendiri, merchandise band dan gigs dari berbagai subgenre secara mandiri mulai terbentuk.
Dari skena elektronik lahirl event bertajuk Parkinsound yang tercatat sebagai festival musik elektronik pertama di Indonesia, dan menjadi tonggak penting lahirnya kultur pesta di Yogyakarta. Parkinsound juga menginspirasi lahirnya club malam di Yogyakarta, serta festival musik elektronik lain di Indonesia.
Perhelatan perdana Parkinsound diadakan pada 1999, bertempat di Lembaga Indonesia Perancis, Yogyakarta. Tiap tahunnya, festival ini dibanjiri oleh penonton. Seiring perjalanannya, jumlah penonton yang hadir terus meningkat.
Dikutip dari ‘Sejarah Musik EDM dan Kultur Pesta di Jogjakarta’ di Mojok.co, Parkinsound berhasil berjalan hingga empat edisi, dan menggaet penampilan Teknoshit, Performance Fucktory, Melancholic Bitch (sekarang: Majelis Lidah Berduri), Homogenic, hingga Koil.
Dari skena musik cadas lahir gelaran Benteng Bawah Tanah yang diadakan di depan museum benteng Vredeburg. pada tahun 1997, band thrash metal dari Jakarta, Betrayer pernah menjajal panggung panas yang dipenuhi oleh massa berbaju hitam.
Ini belum termasuk gigs-gigs kecil yang didanai secara saweran atau kolektif dari pihak penyelenggara dan band-band yang tampil yang hingga saat ini masih sering kita jumpai di Jogja.
Seiring berjalannya waktu, aktifitas seperti ini kian berkembang dan tumbuh pesat di sudut-sudut kota Jogja. Tidak hanya di kampus, pergerakan ini menyebar di ruang-ruang kecil di dalam perumahan-perumahan elite hingga perkampungan yang mendorong lahirnya “Jogja Invasion” di industri musik arus utama nasional yang semula hanya diisi oleh band/penyanyi dari Jakarta, Bandung atau Surabaya.
Setelah era Rolland Band, Partha Putri, dan Cassanova, Jogja seakan kurang mendapat “kesempatan” berbicara lantang di arus utama karena industri melihat Jogja sebagai kota seni dan budaya diisi oleh seniman-seniman idealis, nyeleneh dan susah diatur.
Butuh proses waktu yang cukup lama untuk membuktikan bahwa Jogja menyimpan potensi yang cukup besar yang ledakannya mampu membuat orang-orang diluar Jogja menoleh dan ingin masuk ke dalam skena musik Jogja yang memang unik, rumit tapi menggairahkan.
Nama-nama seperti Sheila On 7, The Rain, Jikustik, SKJ’94, Endank Soekamti, hingga Shaggydog yang bermula dari band tongkrongan tiba-tiba menyeruak menjadi band papan atas nasional.
Kuatnya jalinan pertemanan dan pemberdayaan SDM yang semakin terasah tanpa memandang arus utama atau arus pinggiran, mendorong beberapa pelaku dan pegiat skena musik di kota Jogja membuat festival musik berskala nasional maupun internasional, salah satunya LOCKSTOCK Festival yang bertujuan untuk mempresentasikan perjalanan dan perkembangan skena musik Jogja kepada masyarakat yang lebih luas.
LOCKSTOCK Festival menampilkan etalase musik yang merangkum 100 penampil dari Jogja, baik dari arus utama ataupun arus pinggiran yang digelar selama tiga hari. Selain itu LOCKSTOCK juga mengundang pelaku bisnis musik, komunitas musik, dan bisnis kreatif yang memiliki hubungan dengan dunia musik di Jogja untuk berpartisipasi pada pameran musik & creative booth untuk membuat program yang bisa menunjukkan potensi musik di Yogyakarta.
Sayangnya festival musik ini tidak bertahan lama dan berakhir dengan tragedi memilukan.
Hadirnya internet yang diawali dengan era warnet, menjadi salah satu elemen penting dalam membangun ekosistem musik di Jogja. Penetrasi penggunaan internet dan media sosial memungkinkan setiap orang berbagi aktivitas hariannya, terlebih bagi para event organizer musik, musisi/band dan penikmat musik itu sendiri. Mereka merayakan teknologi ini dengan penuh suka cita dengan berbagi informasi dalam akun pribadinya.
Begitu pula dengan pergeseran cara menikmati musik dari analog ke digital, membuat batasan antara arus utama dan arus pinggiran semakin bias dan internet mengubah peta industri musik yang kian beragam. Setiap pencipta karya akhirnya dapat memiliki kesempatan yang sama dalam memproduksi karya dan berlaga di arena yang sama dalam mempublikasikan karyanya untuk sampai ke pendengar.
Tidak hanya itu, dengan bantuan media sosial, musisi/band dapat menjual langsung karya musik mereka untuk dikenal masyarakat luas tanpa perlu bergantung pada label rekaman. Dengan demikian, pihak penyelenggara konser atau festival musik pun dengan bantuan media sosial dapat melahirkan sebuah perubahan baru bagi para penikmat musik maupun pelaku industri musik.
Badai pandemi yang baru saja berlalu telah meluluhlantakkan sendi-sendi perekonomian termasuk musik di dalamnya selama dua tahun. Dampak paling nyata yang ditimbulkan adalah kepanikan akibat isolasi secara berlebihan. Keadaan ruang yang serba terbatas, tertutup, membuat aktifitas sosial hanya bisa dilakukan secara online saja yang mana itu bertentangan dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Apalagi skena musik Jogja yang dikenal dengan kultur srawungnya.
Inilah yang coba ditangkap tim penyelenggara festival musik Cherrypop.
Digelar perdana pada tanggal 25 Juni 2022 bertempat di panggung Alpha Bravo, Yogyakarta, Cherrypop hadir merayakan kembali kebebasan ini dengan penuh suka cita dengan menghidupkan kembali energi-energi positif, setelah dua tahun terisolasi dalam kepanikan.
Dengan beragam sajian komponen ekosistem, pertunjukkan musik, pemutaran film dokumenter, creative workshop, pop up market, records store dan art exhibition, Cherrypop berharap punya signature tersendiri atas sebuah pagelaran budaya yang baru dan berkualitas di Jogja.
Pada tanggal 19 dan 20 Agustus 2023 yang lalu, Cherrypop hadir kembali untuk kedua kalinya dengan mengusung tema Swasembada Musik.
Saya berkesempatan hadir atas invitasi dari Pena Skena, turunan dari program Rekam Skena yang dimotori oleh Kiki Pea, setelah saya mengirimkan karya tulis bertemakan jurnalisme musik.
Bahwa kini menonton secara langsung pertunjukkan musik bukanlah satu-satunya alasan bagi masyarakat untuk menghadiri Cherrypop Swasembada Musik, termasuk saya.
Dari beberapa penonton yang saya temui, selain karena untuk menyaksikan beragam genre musik yang ditampilkan, mereka juga datang ke acara ini karena ingin memperlihatkan outfit atau pakaian keren dan stylish yang dipakai, untuk menikmati sajian makanan yang dipamerkan sesuai lokasi festival seperti yang ada pada tenant-tenant, untuk bertemu dengan banyak orang yang baru dikenal karena mengidolakan artis yang sama, dan untuk dapat bertemu dan berfoto langsung dengan selebriti yang juga menghadiri festival ini sebagai pengunjung.
Pada akhirnya, semua faktor-faktor yang disebutkan di atas, menjadikan Cherrypop Festival sebagai tempat sempurna untuk dituju bersama sahabat atau keluarga.
Lain halnya dengan Armand Dhani, seorang kolektor vinyl band-band lokal. Ia hadir di gelaran Cherrypop Swasembada Musik, selain ingin menonton band-band mitos yang lama tidak manggung, ia juga datang untuk mendapatkan tanda tangan personel band pada rilisan vinyl koleksi pribadinya, selain mengunjungi records store tempat wajibnya untuk mendapatkan rilisan-rilisan fisik incarannya.
Saya sendiri malah tertarik pada Community Corner, tempat diputarnya beberapa film dokumenter yang masuk dalam program Rekam Skena #2 yang menyorot keberadaan skena-skena kota-kota daerah yang berada di antara Bandung dan Jogja yang suaranya nyaris tidak terdengar di permukaan.
Diawali dengan film Tidak Ada Party Di Kabupaten Ini garapan Kolektif Pancaroba dari Banjarnegara, kemudian dilanjutkan berturut: Daya Bara garapan Hellofriends dari Purbalingga, Ruang Kami: Soetedja garapan Heartcorner dari Purwokerto, dan Blocked City’ Independensi di Tengah Kota Industri garapan Barokah Kolektif dari Cilacap.
Menyaksikan empat film dokumenter yang rata-rata berdurasi 20 menitan itu, membuat saya berpikir: kota dalam film itu mempunyai irisan yang sama dengan kota-kota lain di pulau Jawa. Penyebaran virus indie yang massif, membuat tiap kota daerah mengadopsinya dengan karakteristik kultur anak mudanya di kota masing-masing. Seperti band Sukatani dari Purbalingga yang menggabungkan musik punk dengan kultur agraris di daerahnya.
Dilanjutkan dengan pemutaran ulang film dokumenter dari Rekam Skena #1 yang merekam pergerakan skena musik di Jogja seperti Tuhan, Masukkan Aku Ke Dalam Skena yang bercerita tentang sejarah skena Sekutu Imajiner, Terror Weekend dan Ruang Gulma, melengkapi pengetahuan saya tentang skena musik di Jogja yang tidak sempat saya ketahui.
Sejarah musik Oi! di Jogja divisualisasikan secara apik pada film Enjoi! Cerita Tentang Skinhead Jogja. Penuturan Annas dari Apollo 18 tentang betapa susahnya mencari literasi subkultur skinhead sempat juga saya rasakan. Hanya untuk sebuah buku fotokopian Skinhead Bible yang menjadi semacam kitab suci para skinhead, saya harus rela berkunjung ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Jogja dan Malang.
Tapi niat saya membentur tembok, karena mereka tak mengizinkan saya mengopi buku itu. Alasan mereka: saya bukan anak skinhead. Hardcore itu tidak sama dengan skinhead, meskipun sama-sama kepalanya botak, kata mereka dulu.
Knock-Knock Yer Blues bercerita tentang Om Pieter Lennon, seorang pengamen solois yang khusus membawakan lagu-lagu The Beatles dan John Lennon. Profesi ini ia tekuni sejak era 80an hingga saat ini.
Ditutup oleh film Yogyakarta Magnetnya Rockabilly yang menceritakan bagaimana musik dan otomotif antik era 50an beserta pernak-pernik gaya hidup yang menyertainya bisa dipadukan dalam satu skena bernama Rockabilly dan Jogja menjadi medan magnetnya, meskipun band Rockabilly awalnya datang dari Pulau Dewata.
Dari begitu banyak festival musik yang bermunculan tiap tahunnya, baru Cherrypop Swasembada Musik 2023 yang menarik penuh perhatian saya lewat program Rekam Skena ini.
Lewat obrolan ringan dengan Kiki Pea sebagai orang yang bertanggung jawab pada program ini, saya bertanya, “Apa yang melandasi Cherrypop dengan berbagai programnya?
“Semua ide itu berawal dari tongkrongan dimana kita dalam mendiskusikannya tidak pernah terlalu serius. Malah banyak kelakar dan lebih ke senang-senang,” ujar Kiki yang juga vokalis band rockabilly Kiki & The Klan ini.
Jadi apa yang disampaikan oleh Partha Putri lewat lagunya “Musik dan Aku” yang saya tulis di awal benar adanya. Meskipun kadang dalam menjalani hidup di dunia ini terasa berat, tetaplah kita isi dengan suka ria dan canda. Lantas, janganlah berhenti mendengarkan musik karena di dalamnya ada cerita yang terekam dalam ruang ingatan kita, yang kelak jadi ingatan yang perlu dituangkan dalam media apapun.
“Dan semua itu akan menjadi milik kita”
Untuk disampaikan kepada generasi berikutnya agar daya bara ini tidak pernah padam.
Ditulis oleh: Wiwid Coreng, vokalis Server Sick, band rock asal Jember. Aktif di kancah musik independen Kota Tembakau ini sejak 1990-an. Saat ini tinggal di Jember, berwirausaha, sesekali menulis dan tetap bermain musik.
Penyunting: Nuran Wibisono