FSTVLST adalah band rock asal Yogyakarta yang lagu-lagunya banyak digandrungi kalangan muda mudi. Band ini adalah lanjutan dari Jenny yang terbentuk di ISI Yogyakarta pada tahun 2003. Beranggotakan Sirin Farid Stevy sebagai vocal utama, Humam Mufid Arifin sebagai pemain bass, Danish Wisnu Nugraha sebagai drummer, dan Roby Setiawan sebagai gitaris.
Pada tahun 2023 lalu, Cherrypop menghadirkan Jenny sebagai penutup, dan membuat festival tersebut lebih berkesan, karena seolah-olah, seperti yang dikatakan Farid di atas panggung kala itu, “menghidupkan kembali band yang sudah mati…”
Setelah dua anggotanya Anish Setiadji dan Arjuna Bangsawan keluar dari band, pada 2011 Jenny menjelma menjadi FSTVLST. Lewat album perdana bertajuk ‘Hits Kitsch’ yang dirilis pada 2014 di bawah Fakta Records, lewat lagu bernuansa menantang kesedihan, FSTVLST berhasil menarik hati para penikmat musik.
Album ini dinobatkan sebagai salah satu album musik terbaik oleh majalah Rolling Stone Indonesia, bahkan “Ayun Buai Zaman” menjadi soundtrack film “Bukaan 8” yang dirilis 2017 oleh Visinema Pictures. lagu-lagu dari album ini sering jadi “teman ngopi” di tongkrongan saya sewaktu pandemi covid lalu.
Dengan lirik yang menyala-nyala dan seolah mematahkan kesedihan, inilah yang manjadi pelipur lara bagi saya di era pandemi saat itu. Hampir semua lagu saya putar setiap hari, entah itu di rumah atau di tongkrongan. Aransemen dan liriknya yang “nggak menye-menye” membuat saya tak bosan untuk memutar “Hits Kitsch”.
Tangisan Menantang Rasi Bintang
Jenny. Pertama kali saya mendengar band ini ketika usia saya belum bisa memiliki KTP. Di Yogyakarta, nama itu berkibar di antara Captain Jack, Morning Horny, Marapu, hingga End of Julia. Barangkali, tinggal di Jogja adalah sebuah kemewahan. Sebab, bisa mendengarkan secara langsung berbagai genre musik. Dari pop, rock, punk, hingga dangdut.
Tahun 2008, saya sempat abai dengan skena musik di Jogja karena sempat pindah ke luar kota untuk melanjutkan pendidikan. Baru tahun 2014, saya balik ke Jogja. Suatu kali, karena kangen dengan konser, saya datang ke sebuah pentas yang bertiket. Jujur, saya tidak tahu siapa saja yang main. Meskipun saya sempat melihat nama-nama di spanduk, tetap saja asing. Namun, ada nama yang menarik perhatian, dan sama sekali tidak menggunakan huruf vokal: FSTVLST. Cukup unik.
Azan magrib berkumandang. Setelah usai, pembawa acara tampil dan basa-basi sejenak. Kemudian, ia memanggil FSTVLST. Saya hanya diam saja. Namun, tiba-tiba mulut saya mengeluarkan suara. “Kayak tahu vokalisnya.” Mereka menyanyikan beberapa lagu. Penonton berjingkrak. Vokalisnya berulang kali memberikan pelantang agar penonton ikut bernyanyi. Kesan rock dalam setiap lagu sangat kental, kecuali satu lagu: “Menantang Rasi Bintang”.
Saya belum terlalu hafal liriknya. Mencoba merapal, mencoba mengikuti gerak bibir perempuan di sebelah saya, lalu mengeluarkan bunyi-bunyian, yang tentu saja pelan. Dari sekian lirik itu, entah kenapa mendadak saya menangis. Tenggorokan saya tercekat. “Maka sudahilah sedihmu yang belum sudah, segera mulailah syukurmu yang pasti indah, Berbahagialah!”
Saya jarang menangis untuk sebuah lagu. Namun, dari band yang saya belum pernah mendengar namanya, menangis adalah anomali. Aneh rasanya. Lirik itu sepertinya menggambarkan kehidupan saya yang awut-awut dan cenderung jarang bersyukur. Setelah acara itu, saya baru mencari tahu siapa FSTVLST. Dan kalimat “kayak tahu vokalisnya” mendapatkan justifikasi dari sebuah tulisan di blog.
Ya, FSTVLST adalah transformasi dari Jenny, sebuah band yang akrab di telinga saya ketika Yunani menjadi kampiun di Piala Eropa 2004. Kemudian, saya agak rajin mengikuti informasi tentang band yang digawangi Sirin Farid Stevy. Tentu saya tidak menonton setiap kali FSTVLST main di sebuah acara.
Namun, berdasarkan tongkrongan, untuk ukuran Jogja, dan jika ingin membuat acara yang menyedot banyak penonton, FSTVLST adalah pilihan utama. Penampilannya tidak monoton dan bisa dipastikan penonton akan larut dan bernyanyi di setiap lagu. Entah itu “Orang-orang di Kerumunan”, “Hujan Mata Pisau”, atau “Gas!” Maka, bila FSTVLST main dalam acaramu, konser pasti meriah.
Tahun 2024 adalah satu dekade album Hits Kitsch. Sebuah album yang, setelah didengarkan berulang-ulang, menjadi wajar apabila mendapatkan penobatan sebagai salah satu dari 20 Album Terbaik Indonesia tahun 2014 oleh Majalah Rolling Stone Indonesia edisi Januari 2015.
Jangan Romantitasi FSTVLST, F**k You Kabeh!
Jika musik adalah agama, maka Sirin Farid Setevy akan menjadi kandidat kuat menjadi nabi skena!
Saya tidak asal omong mengenai ini, tweet sederhana Sirin Farid Stevy yang tersurat “Hong” aja banyak orang mencoba menerka maknanya, termasuk saya heuheu. Sungguh seperti wahyu saja. Selain itu jika dulu konser musik dihegemoni bendera Slank, sekarang dan tentunya sependek pengalaman saya nonton konser-konser di Yogyakarta sejak 2022-2024, kini kaos FSTVLST lah yang menghegemoni atribut musik di festival.
Hal ini saya coba buktikan ketika FSTVLST tampil di Cherrypop, Sabtu 10 Agustus 2024. Saya mengajak teman-teman untuk menghitung berapa orang yang memakai kaos FSTVLST, sampai akhirnya jari sudah tak sanggup menghitung saking banyaknya. Lagu-lagu FSTVLST memang menyihir banyak orang, kawan saya bahkan menangis ketika mendengarkan lagu “Menantang Rasi Bintang”.
Kalau saya sendiri memang tidak menangis, akan tetapi jiwa saya yang terabaikan ini tersihir untuk ikut menantang rasi bintang bersama jiwa-jiwa yang serupa nan bebas.
Sederhananya Sirin Farid Stevy sudah memenuhi unsur untuk menjadi nabi skena. Tinggal tunggu saja kitab skenanya saja.
Awal mula saya mengenali FSTVLST ketika kawan jubir Kretek saya mengajak hadir ke acara Tribute To Kretek yang menampilkan konser musik, dan mereka jadi salah satu line up-nya, tetapi pada saat itu mereka tampil sebagai FLKTVLST. Jujur saja saya tidak berekspektasi apa-apa, tapi ternyata saya langsung suka ketika pertama kali telinga ini mengecap lirik-lirik setan dan malaikatnya.
Saya merasa diajak untuk merenungi, marah, memberontak, bersyukur, entah kenapa banyak perasaan tercampur ketika mendengar lagu-lagunya untuk pertama kali itu, dan lagu favorit saya adalah “Gas”. Keadaan saya yang pada saat itu sedang demotivasi tiba-tiba saja tersadarkan bahwasanya berjalan tak seperti rencana adalah jalan yang sudah biasa.
“Dan jalan satu-satunya jalani sebaik kau bisa”.
Sejak pertemuan itu pula saya selalu mengusahakan “Gas” mennonton di manapun FSTVLST tampil, tentu seradikal itu juga sih, lebih tepatnya ketika konsernya gratis saya selalu mengusahakan untuk ikut serta membentuk kerumunan yang crowd surfing heuheu.
FSTVLST tak ingin diromantisasi
“Mari ucapkan f*ck you bersama-sama kepada FSTVLST!” ucap Sirin Farid Stevy ketika khutbah di penghujung menuju akhir penampilannya di panggung Cherrypop.
Sirin Farid Stevy mengatakan jangan terlalu meromantisasi FSTVLST, saya rasa mas Farid juga tahu bahwasanya musik memang agak mirip dengan agama, dan mungkin Farid takut jika para fansnya, termasuk saya terlalu menglorifikasi mereka hingga selalu menganggapnya kebenaran.
Di panggung khutbah itu Farid menegaskan bahwanya: “Romantisme adalah milik kita bersama, bukan dari kalian untuk kami, maka ucapkan f**k you kepada kami sekarang juga”.
Di pandu oleh Farid, semua penonton serentak mengucapkan “f*ck you” yang penuh dengan kasih sayang. Kontradiksi, tapi itulah FSTVLST. Saya jadi teringat obrolan Pidi Baiq kepada Farid Stevy: “Memang sesungguhnya, sesiapa orang mengkritik pemerintah, jangan-jangan itu orang yang mencintai Indonesia. Saya melihat karya Mas Farid itu, dia mencintai Indonesia. Ia mendesak dengan karya-karyanya, mari kita terbuka. Dia mendesak dengan karya-karyanya, mari kita tidak ada penghalang lagi”.
Farid Stevy bukan maha benar, melainkan pencari kebenaran, jadi dia bukan nabi, dan musik bukanlah agama!
Penulis: Fatih Mahmud Al Hakim, Moddie Wicaksono, dan Rizky Fajar Nur Azis
Disunting oleh Fachri Baik
Artikel ini merupakan hasil dari program PENA SKENA, sebuah lokakarya dan praktik jurnalisme musik yang diinisasi oleh Cherrypop Festival. PENA SKENA diharapkan bisa mendorong aktivasi jurnalisme musik sebagai salah satu alat pemajuan kebudayaan, yang digerakkan oleh anak muda yang berpihak pada lokalitas.