Di balik segala hiruk-pikuk industri musik, selalu ada cerita unik yang tumbuh dari sudut-sudut yang tak terduga. Salah satunya adalah Rabu, sebuah band folk gelap asal Yogyakarta yang merangkai nuansa mistis dan perenungan dalam karya-karyanya.
Bermula dari proyek solo Wednes Mandra pada pertengahan 2012, Rabu perlahan-lahan bertransformasi menjadi sebuah band yang kini dihuni oleh empat personil: Wednes Mandra (vokal dan gitar), Judha “Tempe” Herdanta (gitar), Rudi Yulianto (gitar), dan Bona Zustama (gitar, programmer).
Rabu memulai perjalanan mereka dengan debut album “Renjana” yang dirilis pada Desember 2013 melalui netlabel Yes No Wave. Album ini menjadi penanda kelahiran sebuah suara yang berbeda dalam peta musik indie Indonesia.
Renjana tidak hanya memperlihatkan kemampuan Rabu dalam meramu harmonisasi yang gelap dan menenangkan, tetapi juga memperkenalkan konsep-konsep visual dan kultural yang tak biasa, seperti kemasan album dalam besek, sebuah keranjang anyaman bambu yang biasa digunakan dalam tradisi selametan Jawa.
Perjalanan Renjana dan Keunikannya
“Renjana” bukanlah album yang mudah dilupakan. Setelah dirilis secara digital, album ini kemudian dihadirkan dalam bentuk fisik pada tahun 2014 oleh Tadahasih Records, lengkap dengan packaging besek yang semakin memperkuat aura mistis yang mereka bangun. Ide penggunaan besek sendiri datang dari pengamatan sederhana Wednes terhadap tradisi selametan di sekitarnya.
Dalam tradisi tersebut, besek digunakan untuk membungkus nasi berkat yang dibagikan kepada para tamu. Dengan menjadikan besek sebagai bagian dari album, Rabu seakan-akan mengundang pendengar untuk turut merayakan sebuah ritus musikal yang intim dan penuh makna.
Tak hanya itu, “Renjana” juga diakui sebagai salah satu dari 20 album terbaik Indonesia versi majalah Rolling Stone Indonesia pada tahun 2014. Penghargaan ini menunjukkan bahwa Rabu berhasil menciptakan sebuah karya yang tidak hanya otentik, tetapi juga relevan dan diapresiasi dalam konteks yang lebih luas.
Vakum, Kembali, dan Transformasi
Setelah merilis “Renjana”, Rabu sempat vakum selama lima tahun. Mereka baru kembali aktif pada tahun 2020 dengan formasi yang telah berubah dan energi baru. Kehadiran Rudi Yulianto dan Bona Zustama memberikan warna baru dalam dinamika musikal mereka, memungkinkan Rabu untuk mengeksplorasi berbagai elemen bunyi yang lebih kompleks dan berlapis.
Di tahun 2021, mereka merilis EP Tadahasih, yang menggabungkan lagu-lagu lama yang direkam ulang dengan dua lagu baru. Perilisan ini menjadi penanda bahwa Rabu tidak hanya kembali, tetapi juga berkembang dengan nuansa musikal yang lebih matang dan eksploratif.
Selamatan Renjana di Cherrypop 2024
Di tahun 2024 ini, Rabu merayakan satu dekade “Renjana” dengan sebuah pertunjukan spesial di Cherrypop Festival, Yogyakarta. Momen ini menjadi perayaan atas perjalanan musikal mereka yang penuh liku dan warna. Dalam kesempatan ini, Rabu kembali ke format duo yang minimalis dan mistis, menghidupkan kembali esensi dari album “Renjana” seperti saat pertama kali dirilis.
Selain penampilan musik, Rabu juga menghadirkan kejutan lain, salah satunya merchandise khusus. Namun, yang jelas, konsep besek akan tetap menjadi elemen penting dalam perayaan ini, mengingatkan kita bahwa di balik setiap karya, ada tradisi dan cerita yang membumi.
Kisah Rabu dengan album “Renjana” adalah contoh bagaimana sebuah karya musik dapat mengakar dalam tradisi lokal sembari tetap berbicara dalam bahasa universal. Penggunaan besek sebagai bagian dari kemasan album bukan hanya sekadar gimmick, tetapi juga sebuah simbol dari penghargaan mereka terhadap nilai-nilai budaya yang telah lama ada.
Lewat perayaan 10 tahun Renjana di Cherrypop 2024, Rabu mengajak kita semua untuk sejenak berhenti dan merasakan kedalaman dari musik yang tidak hanya didengarkan, tetapi juga dirasakan.
Menyaksikan selametan “Renjana” Rabu di Cherrypop adalah menyaksikan sebuah momen di mana musik, tradisi, dan waktu bersatu dalam sebuah perayaan yang intim dan penuh makna. Ini adalah ajakan untuk menyelam lebih dalam ke dalam karya yang terus hidup, tidak hanya melalui bunyi, tetapi juga melalui warisan kultural yang mereka bawa. (*)
Penulis: Tegar Rizki Wida Gunawan, Mahasiswa prodi pendidikan yang baru pertama ke festival musik
Artikel ini merupakan hasil dari program PENA SKENA, sebuah lokakarya dan praktik jurnalisme musik yang diinisasi oleh Cherrypop Festival. PENA SKENA diharapkan bisa mendorong aktivasi jurnalisme musik sebagai salah satu alat pemajuan kebudayaan, yang digerakkan oleh anak muda yang berpihak pada lokalitas.