VideoCapture_20230131-175235

Sinema Gerilya dan Tur Rekam Skena 2022

Membajak semangat ‘Sinema Gerilya’, di penghujung tahun 2022 lalu, Cherrypop Festival membawa proyek #REKAMSKENA keliling Jabodetabek. Dimulai 20 Desember di Tangerang yang bekerjasama dengan  Heyfolks Shop x Sandwich Attack, 22 Desember di Jakarta Selatan berlokasi di Mbloc Space, lanjut 23 Desember di Rumah Bergerak Jakarta Timur, dan diakhiri di Bekasi, 24 Desember bertempat di Kedubes Bekasi.

REKAM SKENA adalah omnibus 5 dokumenter skena musik Jogja yang diinisiasi oleh iKonser Channel. Ke lima film tersebut adalah; “Yogyakarta Magnetnya Rockabilly” oleh Mahadhana Dira & Valentinus Nagata, “Tuhan, Masukkan Aku Ke Dalam Skena” oleh 7Days Off, “enjOi! Cerita Tentang Skinhead Jogja” Galih Eko, “Knock Knock! Yer Blues Here” oleh Spasi Latar, dan “Di Balik Lantai Dansa” oleh Tutti Frutti Collective.

Di pertengahan 90-an, muncul gerakan ‘Sinema Gerilya’, istilah yang dilontarkan oleh Seno Gumira Adjidarma. Kala itu Seno melihat secara ekstrem bahwa produksi film alternatif sudah selayaknya menggantikan posisi film nasional. Dikutip dari ‘Kemajemukan Karya Sinema Indonesia: Sebuah Cita-cita?’ oleh Alex Sihar, banyak yang mencoba menginterpretasikan ‘film independen’, satu di antaranya Moran & Willis yang mendefinisikan bahwa “Independen sebagai gerakan oposisi yang keras untuk melawan praktik-praktik dominasi media dalam beberapa sektor.

Dalam sektor teknologi, independen bergerak dalam dunia amatir melawan profesional. Dalam sektor industri, independen bergerak dari pribadi atau kelompok-kelompok lepas melawan produksi, distribusi dan eksibisi yang terorganisir secara massal. Dalam sektor estetika, independen mengangkat segi orisinalitas, penampilan dan avant-garde melawan konvensional, generik dan residual.

Dalam sektor ekonomi, independen bergerak dari segi kecintaan terhadap film melawan kecintaan terhadap uang. Dalam sektor politik, indepeden bergerak dari eksplorasi budaya-budaya marjinal dan yang tertindas melawan pusat, dominasi dan kecenderungan umum. Mengutip Ariani Darmawan, film independen seharusnya adalah sebuah ‘pemberontakan’ yang menyeluruh, matang dalam pemikiran dan pernyataan, dan tercipta dari kecintaan sang pembuat terhadap hakikat film yang bukanlah alat hiburan semata.

Saat ini, teknologi audio visual sudah ada dalam genggaman sehari-hari anak muda. Mereka dibesarkan dari beragamnya kanal-kanal media sosial sebagai sarana aktualisasi diri. Bagaimana jika anak-anak muda ini didorong untuk membuat film tentang skena mereka sendiri, untuk hal ini musik. Hal ini tidak terlepas dari masing-masing komunitas untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman. Sampai Jumpa di ‘Gerilya’ Rekam Skena di kota-kota selanjutnya. (*)

Penulis: Kiki Pea

10-11 AGTS 2024

LAPANGAN KENARI, YOGYAKARTA