RS - Rockabilly

Rockabilly Berselebrasi dan Kembali Menginvasi

Sangarnya skena Rockabilly ini nampak bersebrangan dengan kultur ketimuran. Uniknya, ia justru diterima baik di Jogja yang kental budaya Jawa. Buktinya di kota ini telah lebih dari belasan band bergenre rockabilly. Secara komunal pun lahir Rockin Spades Rockabilly Club yang rajin menggelar gigs, festival, dan pemutaran film.

Skena rockabilly begitu cadas menginvasi ke lini kehidupan penikmatnya. Para fanatiknya pun dengan mudah ditandai dari gaya berpakaian, potongan rambut, jaket kulit, atau guratan tatto di tubuhnya. Kultur ini memiliki daya pikat hingga menginfeksi dunia otomotif, industri pakaian, bahkan pandangan hidup seseorang.

Mahadhana Dira, menjadi produser yang menggawangi pengarsipan skena musik yang kembali tumbuh subur di Yogyakarta. Giatnya dalam skena rockabilly telah bergulir sejak usia 17. Selama satu dasawarsa Dhana tumbuh dengan rockabilly sebagai pupuk pendewasaannya. Melalui proyek Rekam Skena, Dhana sekaligus berselebrasi atas dekade pertama kembalinya skena musik ini.

Komunitas rockabilly ada banyak di kota-kota lain. Selain Bali, Jogja juga jadi salah satu barometernya, bahkan bisa dibilang tokoh rockabilly Indonesia itu kebetulan di Jogja, jadi dengan mudah kita bisa mengobrak-abrik arsipnya,” kata Dhana menyoal produksi dokumenter ini.

Tak puas sampai sini, gitaris The Toothpicks asal negeri kincir angin, Arnound Van Derveen pun didapuk sebagai narasumber. Demi informasi yang faktual, Dhana dan Valen menghadirkan Athonk Sapto Raharjo, si penyandang gelar ‘presiden’ rockabilly. Bukti melokalnya skena ini pun dipresentasikan oleh turut sertanya Laurentius Hendy Kabul yang  mengawinkan rockabilly dan gamelan.

Sebagai penguat, Rudolf Dethu yang dikenal sebagai penulis musik asal Bali cum manager The Hydrant, juga diundang bercerita mengenai Rockabilly di Indonesia, khususnya di Jogja.

“Banyak komunitas dengan genre lain yang menonjol di Jogja. Nah karena rockabilly sedikit, takutnya kalau tidak dirapikan arsipnya malah akan punah,” tutur Dhana yang juga pembetot contra bass di Kiki & The Klan ini.

Rockabilly sebagai sub-kultur telah mencuat di kancah permusikan internasional sejak 1950-an. Sementara di Indonesia, pelaku skena ini memilih mengungsi ke Eropa barat lantaran suara ‘Ngak-Ngik-Ngok’-nya dibungkam Rezim Soekarno.

Kehadiran rockabilly di Yogyakarta menjadi medan magnet skena serupa di kota lain. Kisah ini yang lantas diadopsi oleh Dhana dan Valentinus Nagata selaku sutradara. Terdapat premis menarik yang ia tawarkan dalam proyek ini: “Hidup dari rockabilly atau menghidupi rockabilly?”

“Sebagai genre musik sidestream, bisa dibilang saya yang paling muda di rockabilly Jogja. Semoga setelah menonton dokumenter ini ada generasi baru yang tertarik membangun komunitas lagi,” pungkas pemuda yang mengaku banyak mengenal dunia luar berkat rockabilly. (*)

Penulis: Arinda Qurnia

10-11 AGTS 2024

LAPANGAN KENARI, YOGYAKARTA