15 Tahun “The Place I Wanna Go” Milik Risky Summerbee & The Honeythief

Risky Summerbee & the Honeythief berdiri pada bulan Maret 2007 di Yogyakarta. Pada awal kiprahnya, band ini memainkan genre blues dan psychedelic rock. Namun pada perkembangannya juga beririsan dengan genre folk, rock, bahkan experimental. Sepanjang 2018 – 2024 band ini terpaksa Hiatus karena Rizky Sasono menempuh studi doktoral anthropologi (budaya-suara-politik) di University of Pittsburgh, Amerika Serikat.

Pada 2024 ini secara spesial mereka kembali untuk merayakan 15 tahun album ‘The Place I Wanna Go’ di Cherrypop Festival. Kritikus musik dan Jurnalis kawakan, (alm) Denny Sakrie pernah mengulas album ini lewat kanalnya. Menurutnya album ini merupakan sebuah hibrida musik pop yang rasanya berat untuk dikonsumsi kuping pop. Tapi toh kreativitas semacam ini justru tak sepantasnya dihindari. Berikut kutipan artikel Denny Sakrie tentang album ini:

“Meskipun saya tak tahu mengapa sang konseptor utama kelompok ini begitu terobsesi ingin menjadi Londoner? Cara bertutur, ekspresi vokal dan pelbagai elemen pendukung musiknya sangat menyiratkan ke arah itu. Sebelas lagu yang termaktub di albuim ini, semuanya ditulis dalam bahasa Inggris. Walau terkadang di beberapa bagian lagu Risky seolah tak kuasa juga untuk menyusupkan pengaruh musik tradisi tempat dia dilahirkan: Indonesia.

Simaklah komposisi bertajuk “I Walk The Country Mile”, Risky menyeluspkan rhythm Jawa lewat tiruan ritme Gamelan dengan struktur nada pentatonik. Dia memang tak bermaksud bergenit-genit atau upaya sok eksotik untuk memukau penyimak musik dari belahan bumi sana. Tapi seolah sebuah spontanitas, nuansa Jawa ini menggeletar bersamaaan dengan gaya sub-genre RIO (Rock In Oposition) seperti yang diusung grup seperti Henry Cow misalnya.

Penyuka rock progresif pasti akan bergirang jika mernyimak track-track pungkasan album ini seperti “The Seagull” yang kuat karakter rock progresifnya.Tak jelas apakah Risky pernah melumuri kupingnya dengan torehan-torehan Robert Fripp dengan King Crimson-nya. Dan penyuka geletar psychedellia pun terwakili lewat komposisi komposisi seperti “Flight To Amsterdam” atau “The Place I Wanna Go”.

Corak petikan gitar hingga susupan organ Hammond yang menjejal di kedua lagu ini menyiratkan bahwa Risky memang tengah terseret arus psychedelic yang di era 60-an kabarnya merupakan pengejawantahan ritual mind expanding yang trippy. Dan lagu “Flight To Amsterdam” menjadi kian berkilau karena ternyata makna yang ditakwilkan dari barisan larik lagunya yang metaforik itu tengah bertutur tentang tragedi mengerikan yang dialami aktivis kemanusiaan Munir dalam perjalanan terbang ke Amsterdam.

Busana arransemen yang dijelujur Risky seolah menjadikan kita tengah dalam sebuah perjalanan penerbangan. Permaianan Hammond Nadya di bagian introduksi serta kian menggelegak pada bagian interlude mengingatkan kita pada absurditas organ Ray Manzarek dari The Doors. Lirik lagunya bahkan memintal quote tajuk dari dua lagu The Beatles: Lucy In The Sky With Diamond dan Magical Mystery Tour.

Risky pun tak urung mengimbuh dua lagu dengan pengaruh folk rock yang kuat dalam “Fireflies” maupun “On A Bus” yang membidik lanskap sosial. Bayangan Robert Zimmerman a.k.a Bob Dylan mencuat manakala menyimak lagu ini. Risky mencoba berminimalis lewat “Make It Print of Me” yang kontemplatif. Risky mengakui banyak terpengaruh pada idiom musik pop yang menggelegak antara tahun 1966-1974, yang oleh sementara orang sering disebut sebagai era emas musik pop dunia. Dia menyimak The Beatles,Them,Traffic,Pink Floyd hingga Paul Weller yang pernah mengukir nama lewat The Jam maupun Style Council.

Berkiprah dari komunitas seni pertunjukan Teater Garasi, Risky Summerbee dan kawan kawan sering melakukan proses kreatif yang berujung pada seni pertunjukan, seperti ‘She Flies Tomorrow (2007), ‘The Rise and Fall of a Scoundrel Queen (2007), Memoirs of Gandari (2008), serta bersama Teater Garasi dalam ‘Je.ja.l.an’ (2008) Awal tahun 2009 merilis album ‘The Place I Wanna Go’ yang dirilis Dialectic Recordings bermaterikan 11 lagu termasuk ‘Slap n Kiss’, ‘The Place I Wanna Go’, ‘Fireflies’, ‘Flight to Amsterdam’ – yang mengkisahkan pembunuhan aktivis hak asasi manusia, Munir-, serta ‘The Seagull’ yang menjadi bagian dari pertunjukan teater berjudul ‘Camar’ adaptasi karya lakon Anton Chekov.

Album kedua ‘Preamble’ dirilis 17 Agustus 2011 melalui YesNoWave netlabel dan bisa diunduh gratis di www.yesnowave.com. Dua lagu diantaranya ‘All Survive in the End’ dan ‘Where are we heading to?’ merupakan eksperimen spoken word di antara experimentasi lainnya seperti ‘BBM’ (Balada Buruh Migran) yang notabene adalah lagu
dangdut, ‘Unfollow’ perpaduan rock ‘n’ roll dan keroncong, meskipun juga masih tersisa komposisi panjang yang menjadi trademark mereka di lagu ‘Mind Game’.

Pada hari Valentine 2012, Risky Summerbee & the Honeythief melempar single duet mereka bersama Frau “Days Elapsed’ melalui www.jakartabeat.net. Tiga musisi yang sejak awal sampai sekarang menjadi tulang punggung band multigenre ini adalah vokalis/penulis lagu Rizky Sasono, gitaris dan multiinstrumentalis (alm) Erwin Zubiyan (1985-2015), serta pemain bas Doni Kurniawan. Keyboardist, Nadya Hatta bergabung bulan November. Selain itu, kiprah kelompok ini juga diwarnai kontribusi dari beberapa Musisi: Drummer Sevri Hadi (2007-2009), Warman Sanjaya (2010-2011), Keyboardist Widhi Risang (2011-2018).

Dengan formasi terbaru; Rizky Sasono (lyricist/vocal/guitar), Nadya Hatta (piano/keyboard/noise), Doni Kurniawan (bass), Yuda Hasfari Sagala (drum), Yohanes Sapta Nugraha (guitar), mari kita merayakan 15 tahun album ‘The Place I Wanna Go’ di Cherrypop Festival 2024. (*)