Merekam Skena, Membaca Kota Lewat Musik

Rekam Skena adalah sebuah ikhtiar untuk mendokumentasikan kultur musik di sebuah kota pada periode tertentu. Semangatnya adalah pengarsipan. Menjaga memori agar tak hilang begitu saja. Bagaimana program ini bermula? Berikut ini kisahnya.

***

Raungan musik rock terdengar dari sebuah rumah sederhana yang disulap jadi tempat gig. Tanpa sekat. Puluhan anak-anak muda tampak menikmati sebuah konser yang sangat intim. Saya langsung teringat dengan video klip “1979” milik Smashing Pumpkins. Saat band asal Chicago tersebut ngeband di sebuah pesta rumahan.

Kolektif 7Days Off berhasil mengabadikan peristiwa itu dengan baik melalui dokumenter “Tuhan, Masukkan Aku dalam Skena”. Mereka merekam tren gigs rumahan di Jogja periode 2015-2018. Pertunjukkan musik ini bisa berlangsung di mana saja. Kafe, rumah, ruang kosong, dll. Gerakan ini mirip seperti kultur college rock yang pernah menghiasi Amerika Serikat dan Kanada dekade 1980 dan 1990-an.

Motor dari gig rumahan di Jogja saat itu ada tiga kelompok. Mereka adalah Terror Weekend, Sekutu Imajiner, dan Ruang Gulma. Kisah ketiganya membuat pertunjukkan musik yang intim itu tersaji dengan apik lewat dokumenter garapan Gilang Rabbani dan Amanda Putri Amalia.

Dokumenter “Tuhan, Masukkan Aku dalam Skena” adalah satu dari 5 karya dokumenter program Rekam Skena milik iKonser. Selain dokumenter karya 7Days Off, karya lainnya adalah  “Yogyakarta Magnetnya Rockabilly”. “Oi! Ini Skinhead Jogja!”, “Di Balik Lantai Dansa”, dan “Knock Knock! Yer Blues Here”. Semunya merupakan hasil proses panjang selama 5 bulan dalam program tersebut.

Nggak hanya tentang musik

“Rekam Skena itu nggak hanya ngomongin musik. Tapi membaca masyarakat di era tertentu lewat kacamata mereka sendiri. Hanya saja teropongnya menggunakan musik,” Ujar Kiki PEA sambil menyeruput teh hangat di sebuah Angkringan daerah Pogung, Selasa (21/3/2023).

Malam itu, Mojok berbincang dengannya untuk mengetahui lebih jauh mengenai program pendokumentasian musik ini. Kiki PEA merupakan salah satu penggagas program Rekam Skena.

Edisi perdana program ini fokus tentang kultur musik di Yogyakarta. Temanya macam-macam. Rockabilly, Skinhead, EDM, Blues, dan College Rock.

Kiki mengakui bahwa karya-karya tersebut hasilnya diluar dugaan. Selain secara sinematografi kualitasnya mumpuni, 5 dokumenter tersebut juga mampu memotret geliat anak muda di Kota Jogja pada era tertentu.

Padahal, semua peserta yang menggarap karya tersebut merupakan hasil open submission yang iKonser lakukan. Proses ini berdampingan dengan ajang pencarian band “Musik Tanpa Batas”. iKonser mencari beberapa band potensial di wilayah regional Telkom untuk manggung di Prambanan Jazz dan Jogjarockarta.

“Nah, yang waktu program pencarian band di DIY dan Jateng itu terpikir untuk bikin sesuatu yang lebih dari itu,” ucap Kiki.

“Kalau cuma nyari band sebetulnya biasa. Akhirnya kita bikin aktivasi lain. Waktu itu saya secara personal abis menang pitching Danais untuk membuat film dokumenter sejarah sinema indonesia yang bermula di Jogja dengan judul YK 48,” imbuhnya.

Selain itu, ia mengakui bahwa program pengarsipan musik ini terinspirasi dari project AKUMASSA milik Forum Lenteng. AKUMASSA adalah program pendidikan dan pemberdayaan media komunitas. Kiki sempat terlibat dalam program tersebut.

“Kita ke daerah, ketemu komunitas, dan memfasilitasi mereka untuk bercerita tentang daerah mereka. Itu mulai dari Padang, Surabaya, Cirebon, Blora, dll,” ucapnya.

“Pengalaman AKUMASSA dan pembuatan film YK 48 inilah yang aku kawinin di program Rekam Skena,” tegas Kiki.

Pentingnya dokumentasi

Lebih jauh lagi, kiki bercerita bahwa sebagian besar peserta bukan berasal dari filmmaker. Tapi semuanya punya kemampuan dasar teknis memegang kamera dan mengolah gambar.

“Mereka punya skill tapi ngga pernah bikin sesuatu yang bernarasi. Di situ lah aku butuh Anggun dan Alvin Yunata sebagai fasilitator,” ucap Kiki.

FYI, Anggun yang dimaksud adalah Anggun Priambodo. Ia adalah sutradara sekaligus seniman visual dari Jakarta. Sementara Alvin Yunata merupakan perintis Yayasan Irama Nusantara dan pembuat film dokumenter “Gelora Magnumentary: Saparua”, film dokumenter yang bercerita tentang pergerakan musik rock dan metal di Bandung.

Anggun dan Alvin mendampingi penggarapan lima dokumenter Rekam Skena selama 5 bulan. Menurut keduanya program ini menjadi tonggak dan pemantik kultur lain untuk melakukan perawatan arsip atau hal serupa.

“Adanya proyek yang dikerjakan perseorangan seperti ini jarang dilakukan di kultur musik. Jadi ini dapat menumbuhkan kesadaran baru akan pentingnya dokumentasi,” ungkap Anggun.

Proses mentoring selama proses pembuatan dokumenter dilakuka secara online. Namun, Anggun menegaskan bahwa para peserta memiliki semangat begitu besar meski hanya diberikan waktu penggarapan yang singkat.

“Harusnya Rekam Skena bisa dikembangkan dan dijadikan pilot dalam pengarsipan skena musik. Selain itu juga perlu dilakukan luas luas dan secara bersamaan,” kata Anggun.

Senada dengan Anggun, Alvin juga mengungkapkan program merupakan awalan yang baik. Menurutnya belum pernah ada yang melakukan hal ini secara serius. Idealnya Rekam Skena bisa dilakukan ke berbagai kota dan terus-menerus. Berekspansi, mencari, dan menularkan semangat pendokumentasian.

“Dokumenter terbuka untuk publik itu sangat menarik,” pungkas Alvin.

Artikel ini telah dimuat di Mojok.co, ditulis oleh Purnawan Setyo Adi