Banner Web

Poster Festival Musik, Gitu-Gitu Aja?

“Festival-festival musik lokal belakangan ini grafisnya senada ya. Jadi browsing lagi festival-festival musik yang grafisnya seru. Sasquatch! Music Fest ini seru dari tahun ke tahun. Selalu ada maskot Sasquatch-nya,” ujar Arian 13. 

Vokalis Seringai itu beropini melalui utas di laman akun Twitter pribadinya pada 4 Februari 2023. Saya mengamini cuitan ini, mengingat beberapa festival yang merebak paska pandemi ini rata-rata memiliki grafis yang setipe, berikut tatanan di media sosialnya. Termasuk beberapa festival yang gagal pun, memiliki tipe yang sama dalam segi penataan visual.

Sepakat dengan Arian, sebenarnya banyak festival di Indonesia yang memiliki grafis beragam. Di utas tersebut, Arian juga mencantumkan beberapa preferensi festival di luar negeri dengan visual yang menarik. 

Sebenarnya tidak melulu luar negeri, bahkan di Indonesia pun, festival-festival dengan visual yang menarik sangat mudah ditemukan. Sebut saja festival yang notabene track record-nya terjamin, antara lain Prambanan Jazz Festival, Java Jazz Festival, Synchronize Fest, Pestapora, Joyland Festival, We The Fest, The Sounds Project, Soundrenaline, Hammersonic, Jogjarockarta, Rock in Solo, termasuk Cherrypop Festival dan Wildground Fest, dua festival yang tidak bisa dipandang sebagai ecek-ecek, di tengah badai festival yang gagal di Yogyakarta. 

Alih-alih menggunakan desainer in-house untuk menggarap segala tetek bengek branding dan publikasinya, di antara festival tersebut banyak yang lebih memilih menggunakan jasa ilustrator lokal untuk menggarap penjenamaan festival terkait, sesuai dengan interpretasi masing-masing ilustrator. 

Selain untuk memunculkan karakter yang berbeda pada setiap tahunnya, jika dilihat dari sisi media sosial, para ilustrator ini memperkuat impresi dari festival itu sendiri.

Kembali pada cuitan Arian yang menyinggung tentang grafis sebuah festival terlebih maskot, Prambanan Jazz Festival (PJF) besutan Rajawali Indonesia telah lebih dulu melakukannya dengan memunculkan Hanoman dan Roro Jonggrang sedari tahun 2016, setahun setelah festival ini pertama digelar.

Sejak 2021, PJF menggunakan ilustrator lokal untuk menjenamakan dan menggarap karakter Hanoman dan Roro Jonggrang. Mereka adalah Wulang Sunu (2021), Djayanti Aprilia (2022), dan yang paling mutakhir yaitu Isa Indrapermana (2023). 

Synchronize Fest pun melakukannya sedari 2018. Festival yang digarap oleh label rekaman independen Demajors ini telah digelar sejak tahun 2000 silam. Tahun 2018, Synchronize Fest mendapuk Jimi Multhazam sebagai pengarah artistik dan ilustrator yang bertanggung jawab atas segala visual festival di tahun tersebut. 

Nampaknya, hal tersebut membuat Demajors ketagihan untuk menggaet ilustrator sebagai sarana penjenamaan festivalnya, sebut saja M Fatchurofi/Peculiar Friend (2019), Agugn (2020), Erin Dwi A (2021), Rakhmat Jaka (2022), dan terakhir ada duo Mahdi Albart dan Obi Sicovecas yang menggarap visual pada festival yang diadakan pada awal September 2023 nanti. 

Beberapa tahun belakangan, penggarapan visualnya dinahkodai oleh Saleh Husein, seniman asal Jakarta yang juga gitaris dari White Shoes & The Couples Company/The Adams. Festival-festival lain seperti Pestapora, Joyland Festival, Hammersonic, dll agaknya tidak melakukan apa yang PJF dan Synchronize Festival lakukan, walaupun saya yakin banyak orang berpengaruh di bidang kesenian yang terlibat di belakangnya. 

Sebut saja Pestapora, festival yang baru saja mengumumkan line up-nya untuk akhir September nanti, pengerjaan fotografinya tidak lepas dari tangan dingin seorang Anton Ismael, seorang fotografer kawakan asal Jakarta.

Mereka menempatkan apa yang tidak biasanya ditempatkan dalam sebuah festival, atau dalam istilah seni rupa adalah juxtapose.

Kembali ke Yogyakarta, di tengah banyaknya festival yang gagal maupun ditunda, tahun ini Cherrypop melanjutkan legacy yang dibangun untuk mewujudkan kembali festival multigenre di Yogyakarta. Menggunakan pola yang hampir serupa dengan PJF dan Synchronize Festival, Cherrypop menggaet Arsita Pinandita sebagai commission artist pada seri pertamanya, dan Ahmad Oka aka Wirosatan untuk seri keduanya.

Saya sendiri menyebut Cherrypop ini sebagai anti-festival untuk ke semua serinya. Mereka menempatkan apa yang tidak biasanya ditempatkan dalam sebuah festival, atau istilah umum dalam seni rupa adalah juxtapose. Hal ini bisa dilihat dari tidak lazimnya visual yang diusung dalam sebuah festival multigenre yang terbilang besar. Di samping itu, penambahan band-band mitos sebagai line-up utama ini diyakini menjadikan karakter penting yang diusung oleh Cherrypop.

Honorable mention dari saya yaitu Loconcert yang diselenggarakan pada awal tahun 2023, walaupun tidak sempat tersebut di paragraf sebelumnya. Mengusung konsep ilustrasi ala Stan Lee dengan komik Marvelnya, visual dari festival ini cukup mencuri perhatian, ditambah motion graphic-nya yang tidak bisa dianggap remeh.

Rasanya tidak perlu terlalu panjang membahas festival berikut visualnya. Penikmat musik sudah bisa membedakan festival dengan visual yang bagus, dan festival yang visualnya biasa saja, yang tentunya tidak akan saya sebut di sini. Toh, pada akhirnya bagi sebagian penonton, visual hanya sebagai pelengkap dalam sebuah ekosistem festival itu sendiri. (*)

Oleh: Iwe Ramadhan (Desainer Grafis, Penggemar Band Ungu dan Setan Merah Kota Manchester)

Foto: Shofia Utami

10-11 AGTS 2024

LAPANGAN KENARI, YOGYAKARTA