Skena musik di kota Yogyakarta menawarkan isu-isu menarik yang layak diungkap lebih dalam. Bagaimana aktivitas ini semakin diterima dan menduduki posisi penting dalam ekosistem musik, terutama dalam pergerakan musisinya.
“Di Balik Panggung”, salah satu rangkaian “Road to CHERRYPOP 2023,” yang berlangsung di Downtown Diner, Seturan, pada 10 Juli 2023 lalu menyajikan momen menarik yang melibatkan NGOBRYLS: JIMI x MALAU, dan Om Robo sebagai narasumbernya.
Berikut sedikit catatan dari obrolan tongkrongan berkonsep talk show tersebut:
Pada kurun tahun 2002 hingga 2003, geliat skena musik di Yogyakarta belum seperti sekarang, kecuali untuk genre “hardcore” dan “metal” yang sudah memiliki penggemar tersendiri. Namun, sejak dulu, dalam lingkup skena musik, konsep “polisi skena” telah ada.
Dalam konteks ini, sering terjadi penilaian negatif terhadap seseorang yang terlihat asing dengan kelompoknya; misalnya seseorang yang tidak main skate namun menggunakan merek skateboard dianggap tidak cocok dengan kelompoknya, atau orang dari kelompok musik metal yang bergabung dengan kelompok anak-anak yang mendengarkan musik “pop”.
Perbedaan antara wilayah utara dan selatan di Yogyakarta juga memengaruhi skena musik. Skena di utara dianggap lebih modis dan trendy, sementara di selatan, menurut penjelasan Om Robo, lebih didominasi oleh kelompok musik metal pada saat itu.
Istilah “skena” yang dulu mengacu pada kelompok penikmat musik tertentu; arus utama, arus samping, ataupun arus underground, kini mungkin sudah tidak relevan, karena pasar musik telah menyebar luas tanpa batasan.
Internet telah membuka pintu bagi para musisi dan penikmat musik untuk merayakan keberagaman dan menemukan kebebasan dalam mengeksplorasi dan menikmati musik.
KIPRAH OM ROBO BERSAMA SOUTHERN BEACH TERROR & SUNDANCER
Punggawa SOUTHERN BEACH TERROR, SUNDANCER, dan BISA ini memulai langkah pertama nya di dunia musik sebagai roadies untuk band pop terkenal asal Jogja, yaitu THE MONOPHONES, pada tahun 2002 hingga 2003.
Dorongan untuk berkembang lebih jauh, membawa Om Robo untuk belajar kursus bass baru kemudian beralih gitar. Singkat cerita, terbentuklah SOUTHERN BEACH TERROR, grup musik instrumental dengan nuansa surf rock ala tahun 60-an. Meski terbatas dalam peralatan dan pengalaman rekaman, mereka bergerak maju dengan keyakinan, menghasilkan karya-karya yang dibagikan secara cuma-cuma pada waktu itu.
Keresahan finansial, keterbatasan informasi tentang perkembangan band dan musisi, ataupun minimnya pemajanan menjadi tantangan pada masa itu. Ini berbeda dengan band atau musisi dari “arus utama” yang lebih populer, yang lebih mendapat perhatian.
“Sosial media belum menjadi hal yang umum digunakan, jadi mencari update musik atau informasi ‘gossip underground’ harus melalui warnet (warung internet) terlebih dahulu. Pada waktu itu terbilang susah untuk spreading the word,” jelasnya.
Dari panggung-panggung kolektif di sekitar Yogyakarta, langkah-langkah mantap membawa mereka hingga ke festival nasional, berbagi panggung bersama band-band asli kota Yogyakarta menggebu dan saling bergantian menghentak panggung.
Namun demikian, bagi Om Robo, band tersebut masih dianggap sebagai proyek sampingan. Bukan tanpa alasan, inferiority complex akan keterbatasan alat musik dan berbagai peralatan nya menjadi hal yang mempengaruhi.
“Gak pede menjadi frontman karena gak punya gear (gitar dan efek). Terlebih waktu main di Jakarta, sedangkan kita dari kabupaten,” tuturnya.
Setelah SOUTHERN BEACH TERROR, Om Robo melangkah lewat SUNDANCER, yang masih mengusung musik surf namun dengan sentuhan lebih pop melalui pengembangan vokal dari Decky Jaguar (THE HIGHWAY).
“Pertama, ketemu Decky dan melihat performing band-nya saat di Lombok tahun 2010. Jadi, kepikiran suatu saat mengajak bikin proyek musik. Hingga, akhirnya buat SUNDANCER di tahun 2018,” jelas Om Robo.
MENCANTUMKAN BAND LOMBOK DALAM KANCAH MUSIK NASIONAL
Lombok menjadi daerah yang jauh dari sorotan pendar iklan dan media mainstream kota besar, sehingga bagi banyak band atau musisi di sana, mencapai kesuksesan bukanlah perkara mudah. Termasuk bagi SUNDANCER, di awal perjalanannya, panggung bukanlah hal yang mudah didapatkan, dan menjadi band tuan rumah hanya sekadar impian.
“Skena di Lombok kecil banget. Jarang bikin acara, tapi yang bikin musik ada. Karena lebih banyak pelakunya ketimbang yang nonton,” ujar Om Robo.
Meski demikian, Om Robo tak menyerah untuk memamerkan karya-karyanya dan meraih lebih banyak penonton. Ide pun muncul untuk memulai sebuah program tur ke Pulau Jawa, dengan melibatkan band kenamaan asal Lombok, THE DARE. Rute tur diambil di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Bogor, dengan harapan dapat mencantumkan band mereka di kancah nasional.
“Karena kita dari kota kecil, strategi nya harus ke Jawa (Pulau Jawa). Ngeledakin di kota besar dulu, nanti gaungnya baru nyampe ke rumah (Lombok). Terlebih, tour gitu belum ketahuan goals-nya ‘bisa gak membuat penonton sing along’, dan banyak kejutan-kejutan” tambahnya.
Tak disangka, tur periode pertama langsung mendapat sambutan positif, dan kesuksesan itu mengilhami Om Robo untuk merencanakan tur kedua beberapa bulan kemudian, kali ini menyasar kota-kota di Jawa Tengah seperti Magelang, Yogyakarta, Solo, dan Semarang.
Dan di era sekarang ini, adanya teknologi yang telah mempermudah para musisi untuk menyimpan dan memamerkan karya mereka kepada khalayak umum. Beragam opsi musik juga memungkinkan pendengar untuk mengeksplorasi lebih banyak genre tanpa terbatas pada satu musisi favorit saja.
Selain itu, semakin banyak EO (Event Organizer) dan penikmat musik yang menghargai talenta lokal, saling menopang memberikan dukungan kepada band-band atau musisi asal daerah. Hal ini menciptakan lingkungan yang mendukung bagi para musisi, sehingga pekerjaan sebagai musisi bukan hanya sekadar hobi, tetapi juga dapat memberikan cukup penghasilan untuk mencukupi kebutuhan hidup. (*)
Penulis: Kaka Fajar Permana