Screening Rekam Skena “pulang” lagi ke rumahnya di On The Pop pada hari keempat tur, tentunya untuk menyebarluaskan semangat kolektif Yogyakarta dan Banyumasan dalam merekam peristiwa musik. Kali ini, seorang kurator musik kontemporer, Wok The Rock hadir sebagai narasumber. Ia memaparkan pandangannya tentang perubahan tren subkultur musik saat ini.
Menurut pendiri Yesnowave Netlabel ini, peralihan tren musik berubah setiap lima tahun sekali. Bisa dibuktikan dengan selera musik Gen Z saat ini kembali ke nuansa tahun 80, 90-an. Namun, apakah hal itu valid atau hanya siklus dan akan menemukan genre baru lagi?
Valid atau tidaknya, menurut Wok The Rock jadi bukan apa-apa jika semua perubahan itu tidak tercatat. Momen ini dapat direkam dengan berbagai macam metode. Tidak melulu merekam dalam bentuk film seperti empat judul yang diputar: Daya Bara, Tidak Ada Party di Kabupaten Ini, Lantai Dansa, dan enjOi! Cerita tentang Skinhead Yogyakarta; melainkan bisa juga dengan tulisan, dan lainnya.
“Perubahan yang sangat cepat di ekosistem musik saat ini antara lain karena teknologi yang membuat cepat, tekanan ekonomi, dan efisiensi juga,” tambah kurator pameran Biennale Jogja tahun 2015 ini.

Menurut Wok The Rock, pendokumentasian skena di daerah-daerah merupakan upaya penting untuk terus dilestarikan. Sebagai seorang seniman lintas disiplin, beliau menekankan pentingnya karakter, visi misi, dan nilai dari skena tertentu. Hal inilah yang dimiliki oleh sebuah kolektif, dengan syarat harus adaptif dan inklusif.
Selain itu, upaya untuk terus konsisten adalah modal untuk mempertahankan ciri khas sebuah tempat di mana skena itu tumbuh. “Setiap tempat itu berbeda (lingkungannya). Jika ingin membuat perubahan, jangan lakukan secara instan. Melainkan dengan perlahan dan hati-hati agar mudah diterima,” ujarnya
Karya-karya Rekam Skena selama 2022-2023 dinilai sangat inspiratif oleh pria peraih penghargaan Festival Film Indonesia untuk filmnya yang berjudul “Wisisi Nit Meke” ini. Bahkan jika ada kesempatan, Wok mengaku tertarik untuk membuat dokumenter subkultur dari daerah-daerah yang sulit diakses.
“Misal seperti dari Maumere, Palu, atau Wamena, itu akan menambah khasanah wawasan musik skena di Indonesia,” ujarnya.
Penulis: Balma Bahira Adzkia
Fotografer: Duwik Djoyomiarjo
Baca juga


