Terus terang saja, wawasan musik saya tiga tahun yang lalu sangat-sangatlah minim. Mungkin hanya nama-nama populer saja yang saya tahu. Itu pun tidak begitu mendalami. Hingga tiba saatnya saya pun tertarik magang di iKonser pada 2022 lalu. Di situlah wawasan musik saya sangat bertambah.
Saya merasa berkembang dalam segi literatur musik. Kala itu saya dimentor oleh seorang pria yang akrab disapa Kiki Pea. Dia memperkenalkan kepada anak-anak magangnya termasuk saya banyak band/musisi, salah satunya adalah Melancholic Bitch (sekarang namanya Majelis Lidah Berduri).
Jujur, nama itu asing sekali bagi saya. Malahan saya baru mendengar ada band bernama Melancholic Bitch ya di iKonser, lebih tepatnya melalui mulut Kiki Pea. Karena ada ketertarikan untuk memperluas wawasan musik, akhirnya saya pun lekas mendengarkan band itu di Youtube dan Spotify.
“Gila. Kenapa saya ngga dari dulu tahu ada band ini (Melbi)!!,” gumam batin saya kala itu. Padahal band ini sudah eksis sejak 1999 lalu. Tapi saya pikir tidak ada salahnya telat daripada tidak sama sekali.
Satu-persatu lagu dari Melancholic Bitch lekas saya sukai, dari mulai nomor-nomor di album ‘NKKBS Bagian 1’ hingga album ‘Balada Joni dan Susi’. Tapi waktu itu saya masih baru bisa mendengarkannya. Belum bisa menyaksikan performnya secara langsung.
Karena memang label yang tersemat pada Melancholic Bitch adalah “band mitos”: Band yang jarang sekali manggung tapi selalu dinanti-nantikan oleh banyak orang. Pun bisa melihat band mitos secara langsung juga menjadi dambaan oleh banyak orang, khususnya bagi para pengemarnya. Karena itu merupakan momen langka. Ada perasaan panantian bagi para pengemarnya.
Hingga pada 2022 lalu, Cherrypop Festival hadir dengan menyuguhkan penampilan band-band yang terbilang mitos. Band-band yang jarang sekali manggung dan menjadi sub kultur anak muda, setidaknya di Yogyakarta. Melbi pun menjadi salah satu line up pengisinya. Syukurlah saya bisa terlibat dalam Cherrypop Festival sehingga bisa turut menyaksikan Melancholic Bitch.
Panggung Cherrypop Festival yang pertama menjadi saksi bagaimana saya semakin kagum dengan Melancholic Bitch. Saya pun lekas menanti-nantikan panggung Melbi dan bersyukur hingga saat ini bisa beberapa kali melihat penampilannya, dari mulai Cherrypop Festival selama tiga kali berturut-turut, Prambanan Jazz Festival 2022, panggung ARTJOG 2023, dan 100 Tahun Chairil Anwar di Gramedia Yogyakarta. Dari mulai nama Melanholic Bitch menjadi Majelis Lidah Berduri pun saya cukup mengikuti.
Saya pikir, dari berbagai panggung yang saya saksikan itu, Melbi selalu tampil dengan memukau. Ada semacam sisi magis yang terpancar dari perform Melbi. Tak ayal melihat Melbi di atas panggung bak ritual atau bentuk peribadahan bagi para penikmat musik.
Mereka bisa mengobati kerinduan yang dirasakan oleh para penonton. Mereka mampu membawa para penonton untuk “melupakan hari esok”. Hari dimana banyak orang dihantui rasa takut dan cemas. Mereka mampu membawa para penonton meluapakan berbagai kekesalan, kemuakan terhadap apa dan siapa pun di hari ini.
Hal itu saya pikir lantaran lagu-lagu Melbi memiliki narasi yang kuat. Album mereka digarap dengan serius. Memikirkan konsep dengan matang. Dan satu lagi, tidak banyak gimmick. Barangkali itulah yang membuat mereka bisa menjadi salah satu band yang dinanti-nantikan sekaligus disegani oleh band/musisi lain.
Mengenai lagu-lagu dari Majelis Lidah Berduri, diakui atau tidak sebagai orang pada umumnya, mungkin sulit merasakan relate sebagaimana lagu-lagu yang belakangan viral. Tapi perlu digarisbawahi bahwa lagu-lagu yang digarap oleh Melbi justru membuat orang justru menjadi berpikir. Membuat orang merasa khusyuk untuk menyimak narasi apa yang sebenarnya ingin disampaikan.
Seperti misal lagu ‘Bioskop, Kursi Lipat’ menceritakan bagaimana pengalaman personal sang vokalis, Ugorad Prasad ketika menyaksikan film G30S kala masa kecil dulu. Saya dan Generasi Z misalnya mungkin tidak relate dengan lagu itu. Karena kami tidak merasakannya.
Tapi saya pikir Ugo adalah pencerita yang baik. Dia bisa menarasikan ceritanya itu melalui kata-kata yang mengajak orang berpikir lebih dalam. Itu baru satu lagu saja. Lagu lain pun juga tidak kalah magisnya.
Misalkan di nomor-nomor album ‘Balada Joni dan Susi’, Melbi mencoba mengajak para pendengarnya untuk menyaksikan dan melihat bagaimana kisah percintaan dua insan, antara Joni dan Susi. Dan satu lagi, lagu-lagunya membutuhkan daya kemampuan untuk berpikir yang dalam.
Mendengarkannya ibarat membaca buku-buku sastra. Hanya saja perbedaan membaca karya sastra dengan mendengarkan lagu terletak pada mediumnya. (*)
Penulis: Khoirul Atfifudin
Artikel ini merupakan hasil dari program PENA SKENA, sebuah lokakarya dan praktik jurnalisme musik yang diinisasi oleh Cherrypop Festival. PENA SKENA diharapkan bisa mendorong aktivasi jurnalisme musik sebagai salah satu alat pemajuan kebudayaan, yang digerakkan oleh anak muda yang berpihak pada lokalitas.