DSCF3717

Kolektif Matisuri dan Jalan Panjang Menuju Swasembada

Cherrypop Festival menawarkan aktivitas yang berbeda dengan festival musik sejenis. Sebelum acara utama terselenggara, mereka terlebih dahulu mengadakan tur bertajuk Weekend Pop Tour pada Juli 2023. Tur ini meliputi Solo, Klaten, Semarang, Ambarawa, Magelang, Purwokerto, dan Yogyakarta.

Weekend Pop Tour menghadirkan showcase skala kecil yang berkolaborasi dengan kolektif masing-masing kota. Komposisi penampil adalah 2 band asal Yogyakarta dan 3 band dari kolektif lokal.

“Idenya itu sebenarnya untuk promosi, tapi gimana caranya supaya beda. Kita promosi, tapi kita dateng langsung bikin aktivasi di tiap daerah.” ucap Kristiawan Bayu, Weekend Pop Tour 2023.

Untuk merealisaiskan idenya itu, Bayu mengajak Hafid Kurnia. Hafid yang adalah manajer band dan sering mengurusi tur band memiliki pengetahuan jaringan kolektif di sekitaran Jawa Tengah.

“Ya sudah kita ngajakin dia. Gimana kalau kita tur juga, tapi yang dibawa bukan band, tapi festivalnya,” tutur Bayu.

Setelah menerima ajakan itu Hafid mulai memilih dan menghubungi jaringan kolektif yang ia miliki. Salah satunya adalah Kolektif Matisuri yang berbasis di Ambarawa, sebuah kecamatan kecil di Kabupaten Semarang.

Gerakan Kolektif Matisuri

Sejak berdiri pada 2019, sudah ada 11 gig yang Kolektif Matisuri bikin. Kebanyakan adalah agenda menyambut band yang sedang tur ke Ambarawa. Band-band asal Bandung, Solo, Magelang, Lamongan, Jombang, dan Yogyakarta pernah Matisuri fasilitasi saat berada di Ambarawa.

Konsistensi selama hampir lima tahun ini membuat Kolektif Matisuri masuk ke radar Hafid. Ia mengetahui eksistensi Kolektif Matisuri saat Total Jerks, unit hardcore punk asal Depok, mengadakan tur “Total Addiction Tour 02” pada 2019. Ambarawa menjadi salah satu titik turnya dan Matisuri mengadakan gig mereka di sebuah lapangan futsal. 

“Denger ada gig di lapangan futsal itu gayeng banget sih,” ucap Hafid.

Meskipun akhirnya gig tersebut batal akibat protes warga, Hafid mulai menaruh perhatian pada Kolektif Matisuri dan memantau mereka melalui media sosial.

Pada 2021, The Bunbury, band indiepop asal Yogyakarta, hendak mengadakan tur Jawa Tengah. Dylan, manager The Bunbury, meminta saran titik-titik tur kepada Hafid. Teringat gig Total Jerks, Hafid menyarankan Ambarawa dan Kolektif Matisuri pada Dylan dan membantu Dylan mengontak kolektif tersebut. Gayung bersambut, Ambarawa akhirnya menjadi titik pertama agenda “Central Java Field Trip Tour 2021”.

“Dylan pas pulang tur katanya seru banget, gayeng banget, main di depan kandang sapi gitu,” kenang Hafid sambil terkekeh.

Interaksi antara Hafid dan Matisuri jadi semakin intens saat Niskala, band post-rock yang Hafid manajeri, mengunjungi Ambarawa dalam rangkaian tur Jawa Tengah pada Juni 2022. Di sana, Hafid melihat dan mengalami langsung bagaimana Kolektif Matisuri bekerja.

Lokasi yang dijadikan venue tur Niskala adalah Helio di Ungaran. Helio bukan bar atau coffee shop, melainkan sebuah angkringan yang bertempat di halaman sebuah rumah.

“Kolektifnya juga enak diajak berteman. Berteman beneran, bukan cuman di hal musik. Pernah pas pulang dari Semarang motorku macet di Salatiga. Itu yang nolongin anak-anak Matisuri,” tambah Hafid.

Rentetan cerita dan pengalaman langsung itu yang membuat Hafid memasukkan Ambarawa dan Kolektif Matisuri dalam rangkaian Weekend Pop Tour 2023. Tidak ambil pusing, Matisuri mengiyakan ajakan Hafid tersebut.

Upaya untuk merawat ekosistem

Hafid tidak salah. Matisuri selalu punya pilihan yang unik untuk urusan venue gig. Tidak hanya saat memilih lapangan futsal atau angkringan depan rumah, saat Weekend Pop Tour mereka memilih Joglos, coffee shop bernuansa alam.

“Tapi [kami] nggak di kafenya, di bekas gudang buat lumbung padi. Terus kalau dikatain proper, jauh ya. Bahkan temen-temen sponsor waktu itu suruh buat ganti tempat,” tutur Dheni, pegiat Kolektif Matisuri.

Bagi Dheni dan kawan-kawan, ruang yang tak layak adalah soal bagaimana cara teman-teman naklukin ruang. Hasilnya lumbung pagi mereka sulap sedemikian rupa hingga layak menggelar gig.

Lubang besar yang ada di atap mereka tutup kain hitam. Cat tembok yang terkelupas juga mereka tutup total pakai kain. Kain itu lalu ditembakkan proyektor untuk bumbu visual. Untuk akustik yang buruk, mereka memilih komposisi subwoofer yang tidak terlalu besar agar suara tidak memantul. 

Ruang memang masalah pelik bagi Kolektif Matisuri. Ini bukan hanya soal ketiadaan ruang yang layak, tetapi juga perbedaan pengetahuan dan orientasi antara gig organizer dan pemilik ruang.

Dheni menuturkan bahwa seringkali ruang yang layak untuk gig tidak bisa diakses karena ketidaksanggupan dan ketidaktahuan si pemilik tempat. Tidak jarang para penggiat Kolektif Matisuri memberikan kuliah 2 SKS perihal siapa Matisuri, apa yang mereka lakukan, band-band apa saja yang akan main dan gaya musik apa yang mereka mainkan. Semua dijelaskan dengan detail dan menyeluruh.

Kalaupun sang pemilik sudah paham dan mau menyewakan tempatnya, permasalahan belum selesai. Seringkali sang pemilik mematok harga yang kelewat mahal untuk kemampuan Kolektif Matisuri.

“Sedangkan ini kolektif. Kita harus jelaskan lagi kalau ini acara kolektif, kolektif ini nggak ada duitnya. Gitu-gitu lagi pasti. Itu susah,” tutur Dheni. “Itupun terkadang, setelah penjelasan panjang lebar sampe mulut berbusa ya belum tentu mereka nerima penawaran kita.”

The Bunbury di Weekend Pop Tour chapter Ambarawa

Siasat menghidupkan gigs di Ambarawa

Soal ruang baru satu hal. Persoalan serapan pasar adalah masalah lain. Menurut Dheni bagaimana pasar musik di Ambarawa bekerja masih menjadi misteri. Seperti kolektif gig organizer lain, penjualan tiket adalah sumber pemasukan utama mereka. Namun, soal penjualan tidak pernah bisa mereka prediksi.

“Bisa jadi acara cuma laku 15 tiket, kadang bisa 50 ke atas. Kita nggak bisa ngebaca itu,” tutur Dheni.

Pengalaman mereka yang paling boncos adalah saat menjamu Dirty Ass (Tangerang) dan Arc Yellow (Depok) saat berkunjung ke Ambarawa pada Februari 2022. Hanya ada 6 tiket yang terjual. Itu pun sudah dibanderol harga murah, 20 ribu rupiah untuk presale dan 30 ribu untuk on the spot

Beruntung sebelum agenda itu Kolektif Matisuri merilis merchandise sehingga kekurangan acara tersebut bisa ditutup melalui uang kas hasil penjualan merch.

Namun, selayaknya kolektif, segala permasalahan adalah soal siasat agar masalah-masalah tersebut bisa ditaklukkan. Di sini, eksperimen liar Matisuri berjalan.

Dheni menuturkan bahwa pada gig pertama Matisuri, mereka pernah mengamen untuk menutupi dana kebutuhan gig. Mereka mengamen di lampu merah sekitaran Ambarawa.

“Dulu banget, pas semangatnya masih meluap. Sekarang udah nggak ada tenaganya untuk ngejalani hal-hal begitu. Sebenernya lumayan kalau ditekuni,” tutur Dheni.

Eksperimen terakhir mereka adalah menyediakan lotre di dalam gig. Eskperimen ini pertama dimulai dalam gelaran Build to Break: Verse Three pada Maret 2023. Saat itu Matisuri menyambut kunjungan Flourish asal Lamongan dan The Broken Heroes asal Jombang.

Sudah dua kali mereka melapak lotre di dalam gig yang mereka kelola. Satu karcis lotre mereka banderol 2 ribu. Hadiahnya beragam, mulai dari koleksi personal seperti merch, rilisan fisik, barang-barang koleksi personal, hingga TV dan hasil panen kebun berupa durian.

Salah satu praktik siasat paling krusial dalam perjalanan mereka adalah membentuk dua platform organizer; Kolektif Matisuri dengan gig rutin “Belok Kiri Jalan Terus” dan Swamptrooper dengan gig rutin Build to Break: Verse.

Baik Matisuri dan Swamptrooper dikelola orang-orang yang sama, yang membedakan aktivitas di bawah nama Kolektif Matisuri beroperasi secara mandiri. Sementara Swamptrooper terbuka untuk untuk sponsor.

Jalan untuk mandiri masih jauh, begitu Juga jalan untuk menyerah

Aktivitas Kolektif Matisuri selama empat tahun ini adalah kekalahan yang berturut-turut. Orang-orang di luar mungkin melihat beragam eksperimen Matisuri. Namun, ada tumpukan kelelahan yang mengendap. Hampir semua gig boncos. Mereka perlu merogoh kocek pribadi untuk menutupi biaya.

“Paling gede 500 ribuan waktu Belok Kiri Jalan Terus #7. Tapi ya hampir setiap gigs kita selalu nombok. Itu yang bikin kami semua capek waktu, tenaga, kantong, pikiran,” terang Dheni.

“Emang bener kalau beberapa perang bukan untuk dimenangkan,” tambah Dheni.

Pernyataan Dheni memang terasa agak hiperbolis. Namun, ini benar adanya. Mengingat bahwa mereka bergerak di ruang kecil di Kabupaten Semarang, bukan wilayah urban yang memiliki beragam potensi aktivitas budaya popular. 

Beragam tantangan mereka hadapi. Seperti tidak ada studio musik yang bisa menjadi venue studio gig dan tatapan sinis warga sekitar.

Pengalaman “ditolak” warga sekitar itu adalah salah satu alasan mereka memberi tajuk They Hate Us untuk projek CD kompilasi band Ambarawa lintas-generasi. Alasan lainnya adalah tindak-tanduk Abang-abangan sok tahu yang beberapa kali mencibir aktivitas kumpulan anak muda 20 tahunan ini.

Dheni menuturkan bahwa Kolektif Matisuri pernah berada di fase krisis eksistensi. Mereka mempertanyakan penting atau tidaknya eksistensi mereka di Ambarawa.

“Sebenernya kita tuh ngapain sih? Ada yang perduli nggak sih sama aktifitas-aktifitas kita ini? Pertanyaan-pertanyaan gitu sampe sekarang pun nggak ada jawabannya,” tutur Dheni.

Pertanyaan-pertanyaan itu memang belum terjawab, tapi kedegilan Dheni dan kawan-kawan untuk terus merawat ekosistem musik independen dan etos-etos kemandirian terus membuahkan hasil. Weekend Pop Tour adalah salah satunya. Gelaran ini bisa berlangsung sebab mereka konsistensi mereka membuat mereka terjaring dalam radar para penggiat musik di kota lainnya.

Aktivitas musik arus bawah Ambarawa pun tetap berjalan. Gigs masih berjalan, begitu juga aktivitas rekaman dan merilis musik. 

Dressed Like An Ocean di Weekend Pop Tour

Dressed Like An Ocean, band skramz asal Ambarawa yang turut tampil dalam gelaran Weekend Pop Tour Ambarawa misalnya, mereka merilis single “Torn Pages From A Restless Tale” pada Mei 2023. Kerrra!, band hardcore punk anyar yang berpersonelkan Dheni, siap merilis single dalam waktu dekat.

“Aku nggak nyangka ada band kayak Suis La Lune di Ambarawa. Itu yang bikin aku ‘Edan ki, perlu diulik meneh Ambarawa iki’,” terang Hafid Kurnia soal Dressed Like An Ocean

“Entah kegilaan apa juga, sampai-sampai kami terus mencari siasat, agar ekosistem ini tetap jalan dis aat kenyataanya serba susah untuk bertahan di sini,” tutur Dheni.

“Kecintaan itu kadang emang bisa nutupin luka-luka batin, tapi juga nutupin logika umum,” pungkasnya. (*)

Penulis: Gregorius Manurung
Editor: Purnawan Setyo Adi

Foto: Rafli Atmaja

10-11 AGTS 2024

LAPANGAN KENARI, YOGYAKARTA