IMG_20230501_162152

Kilas Balik Industri Merchandise di Indonesia

Industri Merchandise menempati porsi terbesar dalam menghidupi suatu band. Bahkan hal lain di luar ekonomi, melalui merchandise pula suatu band bisa berinteraksi dengan para pengemarnya. Namun merchandise adalah media pendukung, karena yang utama adalah band-nya. Hal tersebut dikatakan oleh Arsita Pinandita pada sesi diskusi di Music Merch Festival 2023 yang digelar di Liberates Creative Colony, Sleman, 1 Mei 2023 lalu.  

“Saya pernah baca di HAI, kalo Slank pada tahun 90-an itu bikin kaos nggak ada untungnya. Bahkan waktu itu pernah untung sekitar 1juta, itu pun hanya cukup untuk mengaji pegawainya. Dan kenapa mereka bikin merch? Ya, karena melalui merch bisa dijadikan media interaksi dengan audiens, di luar kaset dan lain sebagainya,” jelas dosen yang juga perupa ini.

Fenomena industri merchandise yang dialami Slank di era 90-an ini pun menjadi pemantik diskusi. Saat itu merchandise band tidak semarak seperti hari ini. Untuk hal ini, Woto Wibowo (Wok The Rock) coba memetakannya. Ia mengatakan bahwa fenomena industri merch band di Indonesia itu terbilang muda karena baru lahir sejak era 90-an, dibandingkan dengan record label yang sudah dimulai 50-an.

Berdasarkan pengalamannya, sebelum tahun 90-an nyaris tidak ada kaos band di Indonesia. Kalau pun ada itu berasal dari luar negeri, karenanya wajar jika Slank di masa itu tidak bisa meraup keuntungan. Karena memang industri merchandise baru mau kebentuk. Pun di era itu para band masih mengedarkan merchandise melalui fans club-nya.

“Kayak Slank jual merch di era 90-an melalui fans club. Karena melalui fans klub jadi nggak banyak yang beli. Selain itu untuk bisa dapat merch karena nonton band-nya di festival musik. Makanya untuk mendapatkan merch di tahun segitu tidak mudah,” urai Wok The Rock.

Tak ayal di masa itu banyak band yang hanya fokus ke karya tanpa memikirkan merch, karena memang umur industri merchandise masih muda sekali.

Sesi talkshow MMF 2023 di Liberates Creative Colony/ Kiri-kanan: Arsita Pinantida, Wok The Rock, Niko Satanza, Sirin Farid Stevy (kanan) // Foto: Khoirul Atfifudin

Pendek kata, industri merchandise ini mulai tercium bau wanginya pada era 2000-an. Harus diakui bahwa yang mengenalkannya adalah skena metal, terutama Thrash Metal, dan dilanjutkan di skena Death Metal, dimana mereka memiliki solidaritas yang kuat untuk menggunakan merch band sebagai bentuk support band lain, lalu kemudian fenomena ini merebak merata di skena musik Indonesia.

“Bahkan kalo kita lihat konteks hari ini, sewaktu acara musik nyaris semua penonton mengunakan kaos band,” tambahnya.

Melihat merebaknya fenomena tersebut, Arsita Pinandita mencoba menganalisa kenapa hari ini banyak orang berminat membeli kaos band. Setidaknya menurut dia ada tiga hal yang mendasarinya.  

“Yang pertama orang membeli kaos band itu karena poser dan itu gak masalah. Yang kedua ya karena dia gak sengaja, dia beli kaos band karena bagus nih dan akhirnya ngikuti. Dan ketiga karena suka band dan ilustratornya,” terang seniman yang juga dosen Desain Komunikasi Visual di Institut Teknologi Telkom, Purwokerto ini.

Tidak tertinggal pula bahwa melalui kaos band ada tautan ideologi sesuai selera yang diminati. Ideologi yang dimaksud adalah karakter kaos band itu. Seperti menjadi rahasia umum kalau kaos band metal ber-font akar, hitam legam. Kemudian kalau band-band hardcore memiliki visual grafity, dan seterusnya.

Storytelling merchandise band, tautan ideologi dan memori

Sehingga ideologi yang diimplementasikan ke dalam visual ini menjadi hal yang penting. Lebih lanjut, personel Cangkang Serigala ini menegaskan bahwa antara musik dan visual saling beriringan. Pada dasarnya musik memiliki peranan penting dalam menentukan visual.

Arsita mengatakan bahwa saat ini sudah jarang kaos band yang menampilkan visual berupa sampul album, atau foto para personel band. Karena desain yang seperti itu secara kasarnya tidak laku di pasaran. Sehingga kaos band saat ini lebih banyak menawarkan desain visual yang dirasa mewakili karakter suatu band.

“Kaos band sekarang lebih banyak menyuguhkan nilai-nilai tentang band itu sendiri seperti ini ada storytelling apa sih. Peluang inilah yang sebenarnya sekarang bisa menguntungkan suatu band. Mereka tidak perlu menunggu album selesai baru membuat kaos, cukup merilis single aja terus dijadikan kaos. Tinggal nanti storyteling apa yang ditampilkan,” terangnya.

Perihal storytelling ini juga bisa diterapkan ke dalam kaos-kaos festival musik. Karena menurutnya, merchandise festival musik sudah semestinya tidak hanya menampilakan line up semata tapi juga menawarkan storytelling.

“Jadi orang-orang tidak hanya datang ke festival karena vibes-nya melainkan juga turut merasakan storytelling melalui merchandise festival tersebut. Poinnya ada pada storytelling itu,” imbuhnya.

Selain storytelling, Farid Stevy dan Wok The Rock sepakat bahwa mencantumkan tanggal acara tersebut digelar menjadi suatu keharusan bagi merchandise, apalagi untuk festival musik, bisa menjadi penanda sebuah momentum.

Di Pameran MMF 2023, Sleman banyak sekali kaos-kaos yang secara bersingungan dengan memori. Seolah para pengujung diajak untuk flash back dan diceritakan di balik peristiwa dari merch tersebut.

Contohnya adalah kaos pertama The Upstairs yang dibuat pada 2001, Locstock Festival #2 2013, di mana ada peristiwa kelam karena sang promotor bunuh diri saat festival sedang digelar. Ada juga cetakan merchandise pertama FSTVLST setelah beralih dari Jenny, dan masih banyak lagi. Intinya, merchandise band bisa dijadikan ajang untuk flash back mengingat memori apa yang pernah menjadi penanda suatu peristiwa. (*)

Penulis Naskah: Khoirul Atfifudin
Penyunting Naskah: Kiki Pea
Foto Sampul: Khoirul Atfifudin

BACA JUGA:

Merayakan Merchandise Musik Lewat Music Merch Festival 2023

Bisakah Musisi Hidup dari Merchandise Band?

10-11 AGTS 2024

LAPANGAN KENARI, YOGYAKARTA