“Saya perempuan, pelaku skena EDM juga. Sering dugem dan ada perasaan tidak nyaman karena pulang-pulang dicap ‘cewek nakal’. Masak saya mau senang-senang aja susah sih,” keluh Regina Surbakti.
Berangkat dari pengalaman dan keresahan tersebut, ia bersama kolektifnya, Tuttifruti menginisiasi proyek bertajuk ‘Di Balik Lantai Dansa’. Untuk proyek ini Tuttifrutti Collective berawakkan Regina sebagai sutradara, Mutiara Ale sebagai produser, dan Doni Dwitama sebagai DOP. Ketiga insan muda ini memotret ekosistem skena EDM (electronic dance music) di balik romantisasi kota Jogja.
Alih-alih menguliti sejarah musik EDM itu sendiri, Tuttifruiti justru lihai membedahnya dengan mata pisau perspektif perempuan. Tak tanggung-tanggung, srikandi disk jockey senior lintas generasi yakni Rarawk dan Vanda Verena hadir dalam dokumenter ini.
Gemerlapnya dunia malam dan hilir mudik ke diskotek memperkokoh justifikasi masyarakat terhadap para penikmat skena ini. Tak hanya itu, narkoba, seks bebas, dan hedonisme pun turut dilekatkan. Sang sutradara menjelaskan bahwa masih ada banyak orang yang sebenarnya datang hanya untuk menikmati EDM, suasana yang ada, dan minum segelas lalu berdansa sepanjang malam.
“Aku sih harapannya setelah orang nonton film kita, ya harus belajar memaklumi bahwa ada orang-orang yang memang senang musik EDM dan berdansa dengan musik EDM ya. Terlepas dari gaya hidup pilihan gitu. Antara musik sama gaya hidupnya dipisah,” cetus Regina, peraih Young Film Director Finalist Citra Pariwara 2019.
Selain menawarkan konsep pendobrakan stigma tersebut, para pekerja kreatif jebolan ISI Yogyakarta ini memotret berbagai sudut lain. Di antaranya menyoal kisah para puan yang menjadi garda depan dalam skena ini. Di balik glamorisme dan seksisme, para wanita pedansa ini berbagi kisah multiperan di selingkung EDM hingga kehidupan domestiknya.
“Musik EDM itu bisa dinikmati sama siapa aja, kapanpun, pada momen apapun. Jadi temen-temen juga harusnya mulai terbuka dengan adanya orang-orang tersebut,” tutup Regina.
Pengarsipan ini berdasar pada ketertarikan mereka mengulik profesi, karir, dan sisi keamanan dari pelecehan di kehidupan dunia malam. Rekam Skena menjadi kali pertama Tuttifruti memproduksi karya dokumenter. Ketiganya sepakat menyebut ini sebagai momentum ‘belajar mendokumentasikan sambil bersenang-senang!’. (*)
Penulis: Arinda Qurnia