melbi-9

Anggapan Band Mitos dan Pandemi Sebagai Titik Balik

Meski dulu kerap dianggap mitos karena jarang manggung, Majelis Lidah Berduri (sebelumnya bernama Melancholic Bitch/ Melbi) kembali muncul di permukaan. Kehadiran kembali Melbi semakin tampak setelah pandemi. Setelah hiatus 2-3 tahun, Melbi kembali manggung di Cherrypop Festival 2022. Setelah itu intensitasnya semakin tinggi.

Bassist Melbi Richardus Arditta, ketika saya temui di salah satu kafe di Jogja, menyatakan bahwa intensitas manggung yang meninggi itu tak lain karena waktu luang belaka. Sebelum pandemi merebak, Ugoran Prasad, vokalis Melbi, baru saja memulai studi doktoralnya. Alhasil, mereka kerap tak mendapatkan waktu yang pas untuk latihan.

Selain itu, pandemi juga menjadi titik balik buat Melbi. Dalam wawancaranya bersama iKonser, Ugoran Prasad menyatakan Melbi ingin terlibat dalam menghidupkan dunia musik setelah pandemi.

“Kalau ada sedikit yang bisa kami lakukan, kami di garis pertama,” tegas Ugo. “Sebelum punya pandemi kami punya alasan untuk selektif, untuk gaya, untuk milih. Habis pandemi? Gila apa? Nggak! Nggak ada alasan. Hajar semua.”

Secara terpisah, saya juga mewawancarai Yennu Ariendra perihal anggapan band mitos yang melingkungi Melbi. Gitaris itu menyatakan tak ada alasan khusus yang membuat Melbi jarang manggung sebelum pandemi. Hanya saja, sejak awal kiprah bermusiknya, Melbi memang tak pernah mengejar standar komersial dan pajanan tertentu.

“Maksudku ini bandnya indie, Jogjakarta, nggak jelas. Kumpulnya setahun sekali, sulit kan kalau pengikatnya duit?” terang Yennu sambil tertawa. “Yang mengikat adalah kamu pengin apa sih? ‘Aku pengin gini loh’, ya sudah itu yang bisa mengikat.”

Lagipula, bagi Yennu, ceruk Melbi terhitung kecil. Kebanyakan pendengar Melbi adalah mereka yang memiliki ketertarikan dengan lirik dan narasi.

Yennu juga punya keraguan terkait format band. Menurut amatan Yennu, zaman telah banyak berubah sementara band yang membekas hingga lintas generasi tetaplah band di tahun 2000-an ke bawah. Akses teknologi dan informasi membuat setiap orang dapat menciptakan musik dan mengonsumsinya sesuai preferensi masing-masing.

Hemat Yennu, dewasa ini terlalu banyak sentrum musik, terlalu banyak pilihan. Istilah mitos yang disematkan kepada band tertentu pun menjadi lazim.

“Mungkin aku salah kalau menyebut band sekarang nggak ada inovasi. Tapi nggak sampai ke pendengarnya, karena terlalu banyak pilihan,” jelas Yennu.

Dalam waktu dekat Melbi akan hadir dengan album barunya, Hujan Orang Mati. Album tersebut kemungkinan berisi puisi yang dimusikalisasi dan dibawakan Melbi di beberapa panggung belakangan. Sebut saja, “Aku Berkisar Antara Mereka” dan “Derai-Derai Cemara” gubahan Chairil Anwar. Ada pula single “Pulang Kampung”, karya Gunawan Mariyanto, yang video klipnya baru saja rilis awal April lalu.

Masih belum ada kepastian mana lagu yang akan masuk ke album Hujan Orang Mati. Alhasil, menurut penuturan Yennu, puisi-puisi itu akan dirangkai serupa kolase yang membentuk cerita.

“Ceritanya apa? Belum tahu,” kata Yennu sambil tersenyum. Tapi sebagai pendengar Melbi, band mitos ini, Anda barangkali sudah tahu apa yang harus dilakukan: bersabar dan menunggu.

Artikel ini telah dimuat di Mojok.co, ditulis oleh Sidratul Muntaha

10-11 AGTS 2024

LAPANGAN KENARI, YOGYAKARTA